Nina's POV
Aku tak mengerti apa yang diinginkan suamiku ini. Ia aneh. Ia orang paling gengsi yang pernah ku temui. Ia juga egois. Ia menjalin kasih dengan Taylor dan benci melihatku dekat dengan Liam, juga bahkan dengan sahabatku, Alex. Ia tidak adil. Kami harus membicarakan ini.
Harry menatapku dengan tatapan yang tak dapat ku mengerti. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membawaku menuju keluar dari ruangan pesta. Aku hanya bisa mengikuti Harry walaupun Liam sedari tadi meneriaki namaku juga nama Harry.
Aku terus mengusap pipiku dengan tangan kananku, menghilangkan air mata yang mengalir di sana. Sedangkan tangan kiriku masih terus di tariknya hingga kami sampai di halaman belakang.
Tak ada orang di sekita sini, hanya aku dan Harry.
Harry pun berdiri di hadapanku dan menatapku yang masih menunduk tak berani melihat matanya. "Aku ingin kita cepat bercerai." Ucapnya dengan rahang yang mengeras.
Tak mengertikah ia bahwa aku mulai terbiasa dengannya? Tak sadarkah ia bahwa aku telah ingin bersamanya? Tak merasakah dia bahwa aku sudah menyukainya?
Aku menatapnya lemah ketika ia mengucapkan kata-kata itu dan ia membalas tatapanku. "Tentu kau ingin." ujarku, menahan air mata yang akan menetes.
"Bagus kalau kau tahu. Aku harus kembali ke dalam." Harry berjalan menuju pintu masuk.
"Ya, aku juga harus kembali. Liam pasti sudah menungguku." balasku, berusaha membuatnya cemburu.
Dan benar saja, Harry berbalik setelah mendengar ucapanku. Ia menatapku. "Apa kau menyukainya?"
"Bukan urusanmu."
"Aku serius." ia menggenggam pergelangan tanganku erat.
"Lepaskan!" aku memberontak.
Ia menatapku tajam. "Aku berhak melakukan ini."
"Dan kita akan bercerai, Harry." suaraku hampir tak terdengar. Aku masih ingin bersama Harry.
"Kenapa? Kau tidak ingin bercerai dariku?" ia menyeringai, aku tak menjawab. "Apa kau menyukai Liam?" ia mengulang pertanyaannya.
"Ya." aku mengangguk, mencoba meyakinkannya bahwa apa yang ku katakana adalah kebenaran. "Persis seperti kau menyukai Taylor." Aku berbohong.
Ia melepaskan tanganku dari genggamannya. "Oh." ia pun berjalan masuk ke dalam ruangan.
Aku pun berbalik dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku lalu menangis sejadi-jadinya.
Mengapa tadi aku mengatakan bahwa aku menyukai Liam? Mengapa reaksi Harry biasa saja saat mendengar pernyataan omong kosongku itu? Apa ia benar-benar tak menyukaiku? Apa ia tak peduli padaku? Apa ia telah benar-benar jatuh hati lagi pada kakak kelasnya saat di SMA itu?
Aku sungguh tak siap jika harus bercerai dengannya. Mengapa ia mengungkit ini ketika aku mulai menyukainya? Dan mengapa harus dipercepat? Lalu kalau memang ia meminta untuk dipercepat, kapan itu semua akan terjadi? Apakah minggu ini? Atau beberapa bulan lagi?
Tak terasa, hampir 5 menit aku menangis di sini. Air mataku terus mengalir dan wajahku masih kututupi.
Tiba-tiba seseorang memelukku dengan sangat erat. Aku tak bisa melihat wajahnya karena orang ini mendekap wajahku di dadanya. Aku tahu orang ini adalah laki-laki karena postur tubuh dan juga harum dari parfumnya.
"Kau akan baik-baik saja." katanya.
Orang ini pasti telah mendengar pembicaraanku dengan Harry. Buktinya, ia tahu bagaimana caranya untuk menghiburku.
Air mataku makin bertambah. "Thanks, Liam."
Liam merenggangkan pelukannya, membiarkanku membenarkan posisi kepalaku, lalu memelukku lagi dengan erat setelah aku membenamkan kepalaku di pundak kirinya.
Pundaknya basah karena air mataku yang terus mengalir. Liam mampu membuatku merasa nyaman.
***
Setelah menemaniku melampiaskan kesedihanku, Liam membawaku ke sebuah restoran mewah dan kami makan malam bersama. Kami banyak mengobrol dan Liam tak henti-hentinya tersenyum padaku, kali ini senyumnya berbeda. Entahlah. Sesekali juga ia seperti ini mengatakan sesuatu, namun ia mengurungkan niatnya, dan aku tidak begitu peduli akan hal itu.
Liam juga mengantarku pulang setelah kami keasyikan mengobrol hingga larut malam.
Aku pun melangkah memasuki pintu rumah dan mataku terbelalak hampir keluar setelah melihat apa yang ada di balik pintu.
Taylor, yang berada di atas tubuh Harry, langsung menoleh padaku dengan ekspresi yang hampir sama setelah aku melihatnya mencium Harry dengan ganas.
Harry yang melihat arah pandang Taylor, langsung ikut menoleh padaku. Ia pun mendorong Taylor hingga ke lantai dan beranjak berdiri dari sofa dimana tempat mereka berciuman barusan.
Taylor meringis kesakitan namun tak satu orang pun dari Harry maupun aku yang mempedulikannya.
Harry berjalan ke arahku, menatapku. Ia mengangkat kedua tangannya seakan ingin meraih tanganku. "Nin,-"
Aku melangkah mundur, tak ingin Harry menyentuh tubuhku.
Ini sungguh menjijikan.
Harry terus mencoba mendekatiku. "Dengarkan aku dulu, Nin." ucapnya lemah.
"Sudahlah, Harry." suara Taylor terdengar. Kini ia berdiri di belakang Harry.
I'm so done with you, Harry. Batinku.
Aku berlari menuju kamarku dan menutup pintunya. Aku langsung mengeluarkan koperku dan tanpa berpikir, aku membereskan seluruh pakaian yang ada di lemariku.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan sosok Harry muncul di baliknya.
Ia meraih tangan kedua tanganku yang sibuk memasukkan pakaian-pakaianku, membuat kegiatan terhenti. "Nin, maafkan aku. Tadi aku berusaha menolaknya, sungguh."
Aku menatapnya sinis. "Oh tapi sayang sekali, kau gagal." balasku berusaha agar aku tak menjatuhkan air mata lagi untuk pria ini.
"Ku mohon jangan pergi, Nin." ia memohon.
"Aku tidak bisa, Harry. Ini sudah melewati batas."
"Mengapa kau peduli? Pernikahan ini hanya untuk menuruti permintaan orang tua kita, 'kan?"
Aku terdiam seribu bahasa. Mengapa aku harus peduli? Tanyaku pada diriku sendiri.
"Apa kau cemburu?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
"Apa kau cemburu?" ulangnya.
Dan aku pun hanya mengulang gelengan kepalaku. Tak mungkin aku mengatakan 'ya'. Kalau ia saja gengsi untuk menyatakannya, mengapa aku tidak.
"Apa kau cemburu?" tanyanya lagi.
"Tidak, Harry." jawabku dengan suara seperti berbisik.
"Katakan bahwa kau cemburu, Nin!" serunya di depan wajahku.
Membuatku terkejut tak karuan. Aku pun menunduk.
"Aku menyukaimu, Nin." gumamnya pelan.
"Lalu mengapa kau bersama Taylor, Harry? Mengapa!?"
"Karena aku tahu bahwa kau tak membalas perasaanku. Kau menyukai orang lain dan aku tidak bisa seperti itu, Nin. Aku sudah terbiasa menjalin hubungan dengan wanita. Ketika aku tak memiliki seorang wanita, aku merasa kosong, dan kau tak mengisi kekosongan itu, Nin."
Aku terdiam lagi. Aku merasa bahagia saat ini. Bahagia karena akhirnya Harry membuang sifat gengsinya. Bahagia karena ternyata ia juga menyukaiku.
"Aku membutuhkanmu." ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Forget Where You Belong
FanfictionHarry Styles dan istrinya, Nina Styles, berusaha untuk saling mencintai satu sama lain namun selalu terhalang oleh kehadiran orang lain. Ketika mereka mulai berhasil mencapai tujuan mereka, sesuatu menghalangi mereka lagi. Bagaimana cara mereka memp...