"All I know right now is, I love you so much."
Aku melepas genggaman tangan Liam dan beranjak berdiri dari sofa. "Kau pasti sedang bercanda." Aku pun melihat ke arahnya, ia hanya menunduk. "Hey, aku sudah membuat makan malam untuk kita! Sebaiknya kau-"
Tiba-tiba ia berdiri dan menarik pinggulku. "Aku tidak bercanda, Nin. Tidakkah kau senang, jika aku membalas perasaanmu?"
Aku terdiam. Yang ku pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya untuk memberitahu Liam bahwa waktu itu aku hanya berbohong soal perasaanku padanya. Cukup Alex saja yang sakit hati karenaku. Aku tak ingin ada orang lain lagi. Apalagi jika orang itu adalah produserku sendiri. Itu akan menghambat pekerjaanku.
Aku berusaha menjauh, memberi sedikit jarak di antara wajah kami. "Bukan begitu, Liam. Aku hanya-"
"Terkejut? Kau tidak menyangka bahwa aku juga menyukaimu?" ia tersenyum.
Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk memberinya senyuman. "Y-Ya. Sangat tidak menyangkanya."
"Sekarang kau sudah tahu. Jadi kau tidak perlu khawatir. I love you, okay?" tiba-tiba ia mencium pipiku dan melangkahkan kakinya ke kamar.
Apa maksudnya?
Aku memperhatikannya sampai ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
Aku tidak ingin semuanya menjadi lebih rumit. Mau tak mau aku harus berkata jujur pada Liam bahwa orang yang ku cintai adalah Harry, suamiku. Tapi bagaimana jika ia langsung memecatku sebagai penulisnya setelah aku berkata jujur? Aku tak ingin kehilangan pekerjaan ini. Ini sudah di tengah jalan, aku tak akan memutar balik kemudiku. Namun jika aku terus-terusan berbohong padanya, ia akan semakin mencintaiku dan semakin sakit hati karenaku.
Baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya pada Liam. Aku akan menerima semua resikonya.
Aku pun berjalan menuju pintu kamar. Menghembuskan napas untuk menenangkan diriku, lalu masuk ke kamar. Ku lihat Liam tengah duduk di pinggir kasur, sibuk dengan ponselnya.
"Liam?"
Ia menoleh padaku. "Ya, sayang?"
Aku menelan air liurku setelah mendengar panggilannya untukku. "Aku ingin mengatakan sesuatu."
"Katakan saja." Ia menyunggingkan senyumnya.
Aku mendekatinya. "Sebenarnya... " jantungku berpacu dengan cepat. "Um, sebenarnya... "
Liam meletakkan ponselnya di atas kasur dan berdiri. Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di pundakku. "Apa yang ingin kau katakan, Nin? Apa kau ingin meminta sesuatu? Aku akan memberikannya padamu. Jangan khawatir."
Aku memejamkan mata dan menggeleng. Cepat katakan padanya, Nin!, ujarku dalam hati.
Sekali lagi aku menghela napas panjang. Aku pun menatap matanya yang sedang menatapku dengan tatapan yang dalam. "Sebenarnya aku tak mencintaimu, Li." ucapku dengan cepat.
"What?" kekecewaan nampak di wajahnya.
"Sebenarnya aku tak mencintaimu, Li." ulangku dengan sedikit lambat.
Ia pun melepaskan tangannya dari pundakku dan menjauh. "Kau mempermainkanku, Nin." Ia menatapku dengan tajam sekarang.
"Bukan begitu maksudku, Li. Sungguh ini di luar dugaan-"
"Omong kosong!" ia berteriak. Aku tak pernah melihat Liam sekasar ini. "Lalu apa maksudmu berkata pada Harry bahwa kau menyukaiku?"
"Aku berbohong padanya saat itu. Aku hanya ingin membuatnya cemburu. Ku kira kau tak mendengar percakapan kami, maka aku mengatakan bahwa aku menyukaimu." aku menunduk. "Aku minta maaf, Liam."
Ku lihat ia mencubit-cubit pertengahan alisnya. Ia pasti sangat kecewa. "Aku sungguh tak mengerti apa yang ada di pikiranmu, Nin."
Aku terdiam. Aku benar-benar menyesal telah membuat Liam seperti ini. Mungkin aku akan kehilangan senyuman tulus yang biasa ia berikan padaku.
"Aku ingin kau pergi. Pergi dari apartemenku." lanjutnya.
Mulutku menganga, lututku melemas. Tak mungkin ia berkata seperti itu. Tak mungkin.
Aku pun hanya diam, begitu juga Liam. Untuk beberapa saat kami diam.
"Nin, apa kau tak dengar!?" ia membentakku. "Aku ingin kau pergi!" ia bertolak pinggang.
Tak terasa air mataku sudah menggenang, memaksa untuk jatuh di pipi. Tak ingin Liam melihatku menangis, aku pun berbalik dan langsung menyibukkan diriku dengan membereskan seluruh pakaianku
Tak butuh waktu lama, semua pakaian dan barang-barangku telah ku masukkan ke dalam tas dan koperku.
Aku pun berbalik dan melihat Liam sedang duduk di pinggir kasurnya dengan membelakangiku. Aku tak bisa melihat wajahnya. "Aku pamit." Aku mengusap air mataku dan keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar tidak tahu ke mana tujuanku sekarang. Tak mungkin aku pulang ke rumah orang tuaku yang berada di luar kota. Mereka pasti akan menanyaiku beribu-beribu pertanyaan tentang apa alasanku pergi dari rumah suamiku.
Melanjutkan langkahku, aku berjalan keluar dari apartemennya. Melewati lorong-lorong yang sepi, masuk ke dalam lift, lalu sampai lah aku di lobi.
Menarik koper dan menenteng tasku, aku terus berjalan menuju pintu utama lobi ini. Namun tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan kuat, membuat tubuhku berbalik dan menabrak orang yang menarikku itu.
Dengan cepat ia meraih tubuhku agar ku tak terjatuh dan jarak di antara wajah kami sangat dekat sekarang. Aku pun menatap matanya yang juga menatap mataku.
Harry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Forget Where You Belong
FanfictionHarry Styles dan istrinya, Nina Styles, berusaha untuk saling mencintai satu sama lain namun selalu terhalang oleh kehadiran orang lain. Ketika mereka mulai berhasil mencapai tujuan mereka, sesuatu menghalangi mereka lagi. Bagaimana cara mereka memp...