[12] Half a Heart

2.8K 393 9
                                    

Nina's POV

Aku baru saja bangun dari tidurku yang tidak nyenyak. Kini aku berada di apartemen Liam. Ya, setelah meninggalkan Harry semalam, aku memutuskan untuk menumpang di tempat Liam. Dan dengan senang hati ia menerimaku.

Jujur, aku merindukan Harry. Biasanya ia akan mengetuk pintu kamarku dengan keras dan merengek, memintaku untuk menyiapkan pakaian kerja untuknya. Namun sekarang, ia tidak bersamaku.

"Kau sudah bangun." ucap seseorang, mengejutkanku. Itu Liam, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.

"Ya." balasku singkat. Aku pun beranjak dari kasur. "Kau tidur di sofa semalaman?"

Liam tersenyum. "Ya." Ia mengangguk.

"Ah, aku jadi merasa-"

"-Tidak enak padaku? Ayolah, Nin. Kau ini masih saja canggung padaku." potongnya.

Aku hanya tersenyum padanya.

"Tadi aku membuat sandwich untukmu, di ruang makan. Makanlah!"

"Thanks." Aku pun ke luar dari kamar dan melangkah menuju ruang makannya.

Apartemen Liam kecil namun terlihat mewah. Mungkin karena ia tinggal sendirian di sini.

Aku pun duduk di salah satu kursi dan memakan sandwich yang telah dibuatkan Liam untukku. Sesungguhnya aku tak nafsu untuk makan, namun sepertinya perutku tak bersahabat dengan suasana hatiku.

Tak lama, Liam muncul dari arah kamar dan bergabung denganku. "Kau suka?"

"Ya. Terimakasih, Liam. Kau sudah sangat membantuku." ucapku setelah menelan sandwich yang ada di mulutku.

"Tak apa, Nin. Aku tidak merasa keberatan." Liam mengambil sebuah botol yang kuyakini adalah sebotol susu lalu meminumnya. "Aku libur hari ini. Apa kau berencana untuk pergi?"

"Ah, entahlah. Aku tidak bersemangat hari ini." jawabku malas.

"Aku tahu kau merindukan Harry."

Harry's POV

Ini sudah panggilan ke 34 kalinya dari Taylor dan tak satu pun aku angkat. Aku tak berniat melakukan apapun selain berbaring di kasurku seperti ini. Aku sungguh merindukan Nina, namun sampai sekarang ia tak kunjung menghubungiku. Padahal ia sudah berjanji semalam. Aku sungguh tak sabar. Aku akan menghubunginya sekarang.

Aku pun mencari kontaknya di ponselku dan memanggilnya. Tak lama, ia pun mengangkat panggilan dariku.

"..."

"Nin?"

"Harry."

Ah, aku sangat merindukannya! Aku baru sadar bahwa hanya suaranya saja sangat berarti untukku.

Aku ingin menanyakan di mana ia tinggal, namun itu terdengar murahan. Nanti ia akan berpikir bahwa aku akan datang menjemputnya. Tidak, tidak akan. Aku tak ingin terlihat rendah di matanya.

"Hey, um, eh- kau sudah sarapan?" mengapa suaraku terdengar gugup?

"Aku sedang sarapan, walaupun sebenarnya aku tidak nafsu. Bagaimana denganmu?"

Ia tak nafsu makan pasti karena merindukanku, aku tersenyum dalam hati.

"Aku belu- ah, sudah! Aku sudah makan dan nafsu sekali." aku berbohong padanya.

Kalau aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku belum makan, pasti ia berpikir bahwa aku merindukannya. Tidak, tidak. Aku tidak ingin itu terjadi.

"Hari ini moodmu sedang bagus ya?"

"Ya! Bagaimana kau tahu?" jawabku berpura-pura semangat.

Andai saja kau tahu kenyataannya, Nin. Aku sedang bermalas-malasan, memikirkanmu dan merindukanmu, ucapku dalam hati.

"Karena kau terdengar bersemangat sekali." Balasnya parau. Ia terdengar seperti sakit. "Hey, kau tidak pergi ke kantor?"

"Ah, ya, aku sudah di kantor sekarang." aku berbohong lagi.

"Ku kira kau akan malas ke kantor, tapi ternyata tak ada pengaruhnya ya bagimu."

"Maksudmu? Pengaruh apa maksudmu?"

"Um, lupakan. Aku harus pergi." demi Tuhan, suaranya benar-benar terdengar lemah.

"Kau mau pergi ke mana?"

"Ke suatu tempat. Bye, Harry."

"Bye."

Nina memutuskan panggilan.

'Ku kira kau akan malas ke kantor, tapi ternyata tak ada pengaruhnya ya bagimu.'

Aku mengerti maksud Nina. Sepertinya ia mengira bahwa masalah diantara kami berdua tak ada pengaruhnya bagiku.

Kau salah, Nin. Sangat salah! Ini sangat berpengaruh bagiku. Sungguh.

Nina's POV

"Kau dengar sendiri 'kan? Inilah yang ingin aku hindari. Aku sudah memprediksinya, Liam. Ia pasti baik-baik saja di sana."

"Ku rasa ia berbohong." Liam mengerutkan keningnya.

"Maksudmu?"

"Ya! Ia pasti berbohong, Nin. Tidak mungkin ia baik-baik saja setelah kau meninggalkan rumahnya. Setidaknya, pasti ada yang berubah dan berpengaruh baginya."

"Sudahlah, Liam. Aku benar-benar sudah putus asa. Ia tidak sungguh-sungguh menyukaiku." ucapku lemah.

"Ia menyuka-"

"Tapi mengapa ia baru mengatakanya ketika aku hendak pergi meninggalkannya, Liam!? Mengapa?" bentakku pada Liam.

Liam pun terdiam. Begitu juga denganku.

"Percintaan kalian sungguh rumit." akhirnya Liam buka mulut. "Aku sungguh tak tega membiarkanmu seperti ini."

"Tapi Harry tega membiarkanku seperti ini." aku tersenyum lemah pada Liam.

Ia pun memelukku dengan erat dan tanpa ku sadari, air mataku menetes lagi di pundak Liam, menetes lagi untuk pria seperti Harry.




Don't Forget Where You BelongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang