Nina's POV
Ini sudah hari kelima semenjak aku meninggalkan Harry. Aku sangat merindukannya, namun aku tak ingin berada di dekatnya. Aku tak ingin terus merasakan sakit hati karenanya. Aku lelah. Sungguh lelah.
Aku dan Harry terus berhubungan lewat telepon, namun tak ada satu pun diantara kami yang mengucapkan kata rindu. Mungkin lebih tepatnya, aku tak berani mengatakannya. Aku takut ucapanku nanti akan sia-sia karena ia tak merindukanku seperti aku merindukannya. Ia selalu terdengar ceria setiap hari. Kurasa dugaanku benar, bahwa kepergianku tak berpengaruh baginya. Itu sangat amat menyakitkan.
Aku senang mengetahui bahwa ia ceria dan baik-baik saja, namun aku merasa sedih mengetahui ia seperti itu di kala aku mati-matian menyemangati diriku untuk tak merindukannya. Kapan ia akan sadar bahwa aku sungguh tak bersemangat ketika aku tak berada di sekitarnya?
Aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Mungkin aku harus menunggu sampai seseorang mengancam Harry untuk menemuiku dan menjemputku pulang. Atau menunggu surat gugatan cerai dari Harry datang. Karena aku tak mungkin menggugat cerai Harry. Tak akan. Aku mencintainya. Ya, aku mencintainya. Aku mencintai seseorang yang perasaannya padaku masih diragukan.
Aku dan Liam pun semakin dekat. Walaupun terkadang ia terlihat aneh. Tak jarang aku memergokinya sedang memandangku lekat, tersenyum-senyum padaku, dan terlihat gugup di hadapanku. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Ia berbeda dengan Liam yang waktu itu ku temui di ruangan produser. Biasanya Liam terlihat ramah dan tegas. Namun semenjak aku menumpang di apartemennya ia mulai berbeda.
Bicara tentang Liam, ia meminjamkanku laptopnya yang jarang ia pakai agar aku bisa melanjutkan mengerjakan tugasku sebagai penulis naskahnya. Cerita yang telah kuserahkan pada Liam pun sudah sampai di puncak konflik dan tanggapan Liam sangat bagus tentang cerita yang ku buat.
Kini aku sendirian di apartemen Liam, karena ia bilang ia memiliki urusan di PH sore ini. Mungkin sebentar lagi ia akan pulang. Aku pun telah membersihkan apartemennya.
Ya, aku sering melakukan ini hanya sekedar untuk memberinya ucapan terima kasih karena telah menampungku ketika rumah tanggaku dilanda konflik seperti ini.
Aku pun merebahkan tubuhku di sofa setelah meletakkan vacuum cleaner di gudang. Aku mencoba memejamkan mataku, namun tiba-tiba ponselku berdering. Ku harap panggilan itu dari Harry, ia belum menghubungiku hari ini.
Aku pun mengambil ponselku dari saku jeansku dan menatap layarnya, lalu mengangkat panggilan masuk itu.
"Halo?"
"Nin? Kau berada di mana sekarang? Aku mengkhawatirkanmu, kau tahu?"
"Hey, santailah sedikit, Alex. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."
"Aku baru saja dari rumah Harry dan ia bilang kau tak ada di sana dan ia tak tahu di mana kau berada."
"Aku memang tak berada di rumahnya, Lex. Aku... um, sedang tidak ingin berada di sana. Hey! Kau dari rumah Harry, benar? Ah, bagaimana keadaannya?"
"Ia terlihat... buruk. Kau tahu? Kantung matanya sangat besar dan gelap, dan ia terlihat sangat lelah, pucat, tak seperti biasanya. Sangat, sangat buruk." Oh, benarkah? "Ia tak lagi terlihat sarkastik padaku seperti beberapa waktu lalu. Apa yang kau perbuat padanya, Nin?"
"Entahlah. Lalu apa yang ia katakan?"
"Ia memintaku untuk menemukanmu. Ia terlihat tertekan saat mengatakannya. Katakan padaku, apa yang telah kau lakukan terhadapnya, huh?"
"Aku bertengkar besar dengannya, Lex. Aku menangkap basah dirinya tengah berciuman dengan wanita lain."
"Apa pedulimu, Nin? Bukankah kau memang membencinya?"
"Ah, sebenarnya aku telah menyukainya, Lex. Aku baru menyadarinya akhir-akhir ini. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya melihat orang yang kau sukai sedang berciuman dengan orang lain?"
"J-Jadi, kau menyukainya? Apa kau yakin, Nin?" Alex pasti sangat kecewa mendengar ini.
"Ya, Lex. Aku menyukainya dan begitu pun dengannya. Ia telah mengatakan bahwa ia juga menyukaiku. Namun- Ah, entahlah. Ini sungguh tak dapat ku mengerti."
"Nin, kau tahu aku menyukaimu sejak lama."
"Alex, tolonglah, jangan bicarakan itu di situasi seperti ini. Aku telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku."
"..."
"Alex..."
"..." aku tak mendengar apapun selain hembusan napas Alex yang sengaja ia hela dengan keras.
"Lex?"
"Di mana kau sekarang?" tanya Alex dengan kesal.
"Aku di suatu tempat. Kau tidak usah khawatir."
"Ayolah, Nin. Aku hanya ingin membantu orang yang kau cintai itu. Beritahu aku di mana kau sekarang?"
Mungkin dengan memberi sedikit petunjuk, Harry akan dengan mudah menemukanku dan membawaku pulang ke rumahnya. Itulah yang aku harapkan saat ini. Demi tuhan aku sangat merindukannya, dan semakin ingin menemuinya setelah Alex memberitahuku bagaimana keadaannya yang sangat bertolak belakang dengan apa yang kubayangkan selama ini.
"Aku berada di salah satu apartemen temanku. Aku harus pergi, Lex."
"Jaga dirimu baik-baik,okay?"
"Pasti. Bye."
"Bye."
Aku pun menutup panggilannya.
"Siapa itu?" tanya seseorang tepat di telingaku.
Aku sedikit menghindar darinya dan melihat siapa orang itu. "Ya Tuhan, Liam! Kau mengejutkanku."
Liam pun berjalan dan bergabung denganku di sofa. "Siapa orang yang ada di telepon tadi?"
"Dia sahabatku, Alex. Sejak kapan kau berada di sini?"
"Sejak kau mengatakan 'aku telah jatuh cinta padanya, maafkan aku'." Liam meniru gaya bicaraku. "Siapa yang telah berhasil membuatmu jatuh cinta, Nin?" Liam tersenyum padaku dan semakin mendekat.
"Um,"
"Aku tahu siapa orang itu." ucapnya memotong jawabanku dan terus mendekatkan tubuhnya padaku, bahkan sangat dekat. "Aku juga telah jatuh cinta padamu, Nin." lanjutnya.
Aku merasakan lidahku tercekat setelah mendengar ucapannya. "A- Apa maksudmu, Liam?"
Lagi, Liam tersenyum. "Aku mendengar semua perkataanmu dengan Harry di pesta waktu itu." aku berusaha mengingat pembicaraanku dengan Harry di malam malapetaka itu, namun hasilnya nihil. "Kau tidak mungkin lupa, Nin. Saat Harry menanyaimu tentang perasaanmu padaku dan kau menjawab bahwa kau menyukaiku. Aku mendengar itu semua." Senyumannya semakin lebar.
Ya tuhan, Liam mendengar ucapan omong kosongku itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku hanya berbohong saat itu, hanya ingin membuat Harry cemburu.
Jadi, apakah ini adalah alasan dibalik perlakuan aneh Liam padaku akhir-akhir ini?
Liam pun menggenggam tanganku. "Aku juga merasakan hal yang sama, Nin. Aku menyukaimu, Aku jatuh cinta padamu. Katakan bahwa aku lancang karena telah menyukai seorang wanita yang telah bersuami, aku sungguh tak peduli. All I know right now is, I love you so much."
Deg!
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Forget Where You Belong
FanfictionHarry Styles dan istrinya, Nina Styles, berusaha untuk saling mencintai satu sama lain namun selalu terhalang oleh kehadiran orang lain. Ketika mereka mulai berhasil mencapai tujuan mereka, sesuatu menghalangi mereka lagi. Bagaimana cara mereka memp...