Nina's POV
Betapa bahagianya aku saat ini. Kini aku dan Harry bertingkah layaknya suami istri yang saling di madu cinta. Walaupun sudah hampir dua bulan kami menikah, tapi baru kali inilah kami mesra.
Contohnya seperti saat ini. Setelah aku selesai memasak, Harry pun telah membersihkan seluruh ruangan. Selama mengerjakan tugas kami masing-masing, kami tak hentinya berteriak dan berdebat, menyatakan diri dan bersaing bahwa kami lebih mencintai satu sama lain. Dan kini kami sedang makan malam bersama di ruang makan dan Harry duduk tepat di sebelah kiriku.
Ketika Harry hendak menyuapiku, tiba-tiba ponselnya bordering, menandakan adanya panggilan masuk. Ia pun mengurungkan niatnya dan segera mengambil ponselnya di saku jeansnya.
Jarak kami yang dekat, membuatku mampu melihat siapa penelpon di layar ponsel Harry.
Swift, Taylor. Ugh.
Harry langsung menoleh padaku dan untuk beberapa saat kami berpandangan.
Mungkin ia menunggu keputusanku, maka kuanggukkan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku mengizinkannya untuk mengangkat panggilan itu.
Namun Harry malah mengerutkan keningnya dan menolak panggilan dari Taylor lalu mematikan ponselnya. Aku tersenyum dalam hati.
"Jangan biarkan orang lain menyakitimu, Nin." ucapnya seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jeans.
Aku terkekeh. "Apa maksudmu?" aku memandanginya bingung.
"Aku tahu kau tidak ingin aku menerima panggilan itu, tapi mengapa kau malah mengangguk?" ia mengambil sendoknya kembali dan menyuapiku.
Aku pun menerima suapan darinya dan segera menelennya ke tenggorokanku. "Bagaimana kau tahu bahwa aku tidak ingin kau menerima panggilan itu?"
"Aku bisa melihat kesedihan di matamu saat kau melihat nama Taylor." Ia tersenyum sebelum menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Aku terus memandanginya yang sedang mengunyah hingga ia menoleh padaku. "Terima kasih banyak, Harry, atas pengertianmu."
"Hanya terima kasih?" tanyanya.
"Memangnya imbalan apa yang kau inginkan?" aku mulai menyuap makanan dan mengunyahnya.
Ia terus memandangiku dan terlihat berpikir. "Tidur satu kasur denganku." Ia menyeringai.
Ya Tuhan. Seringaian itu! Itu salah satu hal yang ku suka dari Harry. Dan jelas, sekarang seringaian itu untukku. Bukan lagi untuk Kendall, bukan lagi untuk Taylor.
"Apa? Satu kasur? Bagaimana bisa? Kamar kita saja berbeda."
"No." Harry menaruh sendoknya dan meneguk segelas air mineral. Ia menggeleng saat menelan air itu. Lalu ia beranjak bangun dari kursi. "Mulai malam ini, kau tidur satu kasur denganku. Selamanya!" lanjutnya sambil melangkahkan kaki menaiki tangga.
"Harr-"
"Jangan membantah! Sekarang kau cucilah piring-piring kotor itu! Karena aku yang akan membereskan barang-barangmu di kamarku." serunya tanpa menoleh dan terus berjalan menuju lantai atas.
"What?" gumamku sambil menggeleng, memikirkan betapa lucunya Harry.
***
Usai meletakkan piring terakhir, aku segera mencuci tanganku dan mematikan lampu-lampu di lantai bawah. Kemudian aku menaiki anak tangga menuju lantai atas, lebih tepatnya kamar Harry ―yang sekarang juga jadi kamarku, kupikir.
Membuka pintu dan memasuki kamar, aku menemukan Harry tengah merebahkan tubuhnya di kasur. Ia hanya mengenakan boxer berwarna hitam. Oh, seksi sekali.
"Barang-barangmu sudah ku bereskan." ucapnya sambil meraih remote televisi di meja lampu kecil dan menyalakannya.
"Baiklah, terima kasih. Aku ingin mandi sekarang." aku pun mengambil langkah ke arah kamar mandi.
***
Setelah selesai mandi dan berpakaian di kamar mandi, aku langsung keluar dan menyisir rambutku di depan meja rias. Dari pantulan kaca, bisa ku lihat Harry memandangi punggungku.
Aku pun berbalik dan menatap Harry. "Apa yang sedang kau pandangi, Harry?"
"Um, tubuh istriku." jawabnya dengan tersenyum manis. "Kemari lah bergabung denganku, sayang." Ia merentangkan tangannya.
Panggilan 'sayang' itu mengingatkanku pada Liam. Aku sungguh tidak enak hati padanya. Aku telah merepotkannya, menumpang di apartemennya dan juga menyakiti hatinya. Tapi mengapa pikiran ini datang ketika aku sedang bersama Harry? Aku tak ingin menghancurkan moodku dan mood juga Harry.
Berjalan mendekati Harry, aku membuang jauh-jauh pikiranku tentang Liam. Aku pun berbaring di sebelahnya dan kini tak ada jarak di antara tubuh kami. Harry mematikan televisi dan segera memelukku.
Aku membalas pelukannya dan mulai memejamkan mata.
"Sekali lagi, maafkan aku, Nin." ucap Harry berbisik.
"Sssshh..." selaku.
"I love you." Ia terkekeh.
Ah, Ya Tuhan! Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. Pasti pada akhirnya takkan ada yang mau mengalah siapa yang lebih mencintai di antara kami. "Harry hentikan! Aku sudah sangat lelah. Jangan mulai lagi." aku mendengus kesal padanya.
"Baiklah. Selamat malam, sayang. Mimpikan aku." ku rasakan Harry mengecup kepalaku beberapa saat.
Oh Harry, aku sangat mencintaimu.
Di pelukan Harry, aku bisa merasakan tubuhnya yang bergerak-gerak, menghembuskan napas. Aku pun mengeratkan pelukanku dan lama-kelamaan aku tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Forget Where You Belong
FanfictionHarry Styles dan istrinya, Nina Styles, berusaha untuk saling mencintai satu sama lain namun selalu terhalang oleh kehadiran orang lain. Ketika mereka mulai berhasil mencapai tujuan mereka, sesuatu menghalangi mereka lagi. Bagaimana cara mereka memp...