[19] Proud

2.9K 389 6
                                    

Nina's POV

Aku berjalan menghampiri Harry yang tengah duduk membelakangiku sambil menonton televisi. Walaupun sesungguhnya aku masih ragu untuk mendekatinya setelah ia membanting pintu kamar tadi.

Aku harus mencoba membujuknya agar ia tak marah padaku.

Aku pun mendekati sofa dan duduk di samping Harry.

Ia pasti menyadari kedatanganku, namun pandangannya masih mengarah pada tayangan berita di televisi dan tak menghiraukanku.

Aku menatapnya. "Harry, kau marah?"

Aku tahu pertanyaan ini kekanak-kanakan, tapi mungkin seperti itulah cara membujuknya karena sifat Harry juga masih kekanak-anakan menurutku.

Ia tak menggubris pertanyaanku. Ugh, sial.

"Harry, jawab pertanyaanku." aku membujuknya dengan nada manja.

Ia menggelengkan kepalanya.

"Lalu kenapa mood-mu jadi berubah seperti ini?"

Ia menoleh padaku dan membuka mulutnya. "Kau menyukai Liam, bukan?"

Entah mengapa jantungku berdetak dengan cepat sekarang. Aku tak ingin Harry marah.

Aku ingin hubungan kami saat ini berhasil dan lancar tanpa hambatan. Namun baru beberapa menit yang lalu Liam telah mengacaukannya. Dan kini aku harus membujuk Harry lagi.

Aku menggeleng sebagai jawaban bahwa aku tak menyukai Liam. Dan memang seperti itu kenyataannya. Aku hanya menyukai Harry saat ini dan seterusnya.

"Kau pernah berkata bahwa kau menyukai Liam." ucapnya dengan tatapan yang tak dapat ku artikan. Mungkin antara datar dan kesal. Entahlah.

Aku menggeleng lagi. "Aku tak menyukainya dan tak pernah menyukainya, Harry. Saat itu aku berbohong padamu."

"Saat itu kau berbohong, atau saat ini kau sedang berbohong?" tanyanya seperti mengancamku.

"Sungguh, aku tidak sedang berbohong padamu." aku meyakinkannya. "Saat itu aku berbohong untuk membuatmu cemburu, Harry. Tapi aku gagal." lanjutku menjelaskan pada Harry seraya menundukkan kepalaku. Mengingat kejadian malam itu.

Harry mengangkat tangannya lalu menangkup wajahku. "Siapa bilang usahamu itu gagal?" ia tersenyum.

Jadi, usahaku itu berhasil? Tapi mengapa ia tetap bersama Taylor? Gadis batinku mulai kebingungan.

"Apa aku berhasil?"

"Ya. Aku benar-benar cemburu saat itu. Itulah pertama kalinya aku merasakan apa yang kau rasakan." ucapnya seraya merangkul pundakku dan menarikku sehingga kini aku bersandar di dadanya.

Aku mendongak untuk melihat wajahnya. "Apa maksudmu?"

"Kau tahu, seharusnya kita saling mencintai, Nin. Kita sudah berumah tangga." ia mengatakannya dengan sebuah senyuman. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memandang ke langit-langit ruangan, seperti sedang membayangkan sesuatu. "Tapi ketika istriku mengatakan bahwa ia menyukai orang lain, hatiku terasa perih, Nin. Kau tidak akan bisa membayangkannya."

Aku menelan ludahku mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Sedalam itukah ia terjebak oleh kebohonganku di malam itu?

"Itu sungguh menyakitkan. Itu membuatku merasa aku telah gagal menjadi suami yang baik dan bukan seorang pria sejati. Saat itu aku baru menyadari bahwa aku jatuh cinta padamu. Saat itu juga aku langsung memikirkan perbuatanku padamu selama ini. Aku selalu melakukan hal yang sama padamu, Nin. Aku menyakitimu. Dan aku berpikir, mungkin seperti inilah rasanya menjadimu."

Don't Forget Where You BelongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang