Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!-Han Shinwa
Berbagai setelan jas berkualitas nun mewah berjejer dipajang pada etalase, mengunci perhatian seorang bocah laki-laki yang hanya tersenyum kecil menatap keindahan pakaian-pakaian tersebut. Indah bentuknya, menawan bahannya, rupawan jika dimiliki olehnya. Tiada terkira, hingga kata-kata saja luput dari penilaiannya.
Seseorang keluar dari toko pakaian tersebut menggunakan setelan jas mewah berwarna brown coat, serta topi bundar yang mencocoki warna pakaiannya sehingga terjadilah kesinambungan terhebat seorang laki-laki dalam pakaian berjas, serta berwibawa sekali pembawaannya.
Chen Mo, terus memandangi pria tersebut hingga tidak terlihat lagi rupanya. Ibunya menghampiri dirinya, menulis sesuatu dalam kertas, "Ayo kita pulang." Tulisnya.
Sejak usianya 3 tahun, Chen Mo telah diketahui ternyata dia terlahir sebagai bocah tunarungu dan tunawicara. Ayah dan ibunya menyadari ketika Chen Mo tidaklah merespon panggilannya, merespon gurauan mereka, dan tidak kunjung menjawab saat mereka bertanya. Hancur perasaan sang ibu mengetahui anaknya mengalami hal yang seharusnya tidak terjadi oleh bocah laki-laki kecil tersebut.
Terlahir dari 5 bersaudara, Chen Mo-lah yang paling terkena diskriminasi. Meski ibunya sangat yakin bahwa Chen Mo memiliki sesuatu yang sangat spesial dibanding saudara-saudaranya, namun ayahnya tetap mengatakan bahwa Chen Mo adalah wujud kesialan dari keluarga mereka. Karena hanya dia satu-satunya yang tidak terlahir sempurna. Chen Ling, saudara tertua pintar bukan gerangan saat berdagang sama seperti sang ayah. Chen Wo, saudara kedua yang pandai bermain alat musik suling seperti ibunya yang berjiwa kesenian musik. Chen Tsue, saudara ketiga yang pandai memasak, sehingga kerap kali menggantikan sang ibu untuk memasak bagi keluarganya. Lalu, saudara terakhir, Chen Yang, saudara perempuan satu-satunya yang selalu membantu sang ibu dalam merawat rumah serta keluarganya. Dia juga pintar dan mewarisi jiwa kesenian musik sang ibu.
Chen Mo? Jangankan bermain musik, untuk menikmati musik saja dia tidak mampu karena tidak bisa mendengar apa pun sedari kecil. Penyebabnya tidak ada yang pernah tahu, yang jelas bagi ayahnya, Chen Mo adalah wujud penguncian bala yang datang kepada keluarga mereka. Sehingga Chen Mo dibiarkan tetap hidup, karena dianggap penangkal bala. Semua kesialan yang datang akan tertuju kepadanya.
Di malam yang sunyi dan gerimis yang turun rintik-rintik, ayah dan ibu dari Chen Mo berdebat sepanjang malam perihal nasib yang akan dilalui oleh anaknya itu. Ayahnya tidak menyetujui untuk melanjutkan pendidikan Chen Mo hingga menengah atas, sedangkan ibunya memaksa agar suaminya itu mau menyekolahkan Chen Mo sama seperti saudara-saudaranya. Semua orang dalam rumah tersebut harusnya bisa mendengar apa yang sedang diributkan oleh pasangan suami-istri tersebut, terkecuali Chen Mo yang tetap fokus menggambar sesuatu dalam sebuah kertas menggunakan pensil.
Saudara-saudaranya menatapi Chen Mo hingga dia tersadar sedang dilihati, "Aa, aaa, aa!" Antusias gerakan tangannya, lebar senyumnya, cerah tatapan matanya, hendak mengatakan bahwa dia sedang menggambar sesuatu yang sangat menakjubkan. Chen Yang melangkahkan kaki mendekati kakaknya yang bisu-tuli tersebut, melihat ke arah apa yang kakaknya gambar. Sebuah setelan jas berkualitas nun mewah yang pernah dilihatnya di suatu etalase toko.
Setelah berdebat hampir 2 jam lamanya di malam hari, sang ibu keluar dari kamar yang membuat saudara-saudaranya langsung pergi ke kamar untuk segera tidur, hanya Chen Mo saja yang tidak menyadarinya dan tetap asyik menggambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moment
General Fiction(MOMEN TANPA SUARA) Chen Leung, di tangannya sebuah kamera mampu menangkap gambar mahakarya. Hidupnya tidaklah mudah dijalani, usah pikirkan. Kesedihan, penderitaan, kesunyian, air mata, dan kegelapan kerap kali datang. Namun, kebahagiaan, kesenanga...