Tempat Untuk Bertumpu [END]

17 3 0
                                    

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!

Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih. Enjoy!

-Han Shinwa


Saat sedang tidak baik-baik saja, bisa dikatakan hampir semua manusia akan berlari mencari-cari tempat untuk menuangkan seluruh keluh kesahnya. Seorang ibu menjadi tempat tiada alasan untuk berpaling darinya, penyembuh terbaik sekalipun telah terluka berulang kali, dan penyemangat terbaik sekalipun gagal berkali-kali.

Chen Leung menyiapkan kameranya, diletakkanya di seberang ranjang tempat ibunya terbaring. Mungkin dia tidak bisa membawa keluarganya untuk melakukan foto bersama di studio foto, tapi setidaknya mereka bisa melakukannya di rumah sakit dengan kamera pemberian Chen Mo.

"Ini akan menjadi foto pertama yang membuatku menangis andaipun sedang bahagia," gumam Chen Leung sembari memandangi ayah, ibu, dan adik perempuannya sedang menunggu. Dinyalakannya waktu, dia berlari, berdiri di samping ayahnya. Foto diambil.

Chen Mo, Irene, Chen Leung, dan Chen Lili berfoto dalam satu frame, tersenyum, sebelum tindakan operasi dilakukan.

Banyak pertanyaan yang datang pada kepala Chen Leung, sedangkan Chen Mo dirundung kekhawatiran tiada tara. Giginya gemelutuk, tangannya basah oleh keringat, dan kakinya tidak bisa diam bergetar. Chen Leung sendiri bertarung dengan pikirannya sendiri, bagaimana jika operasi ini gagal, bagaimana jika ibunya tidak selamat, dan bagaimana bisa dia melanjutkan hidupnya dengan baik tanpa seorang ibu.

Meskipun Dokter Lau telah menjanjikan yang terbaik, tidak menghilangkan fakta bahwa ketakutan mereka tetap mengikat. Chung Mui merangkul Chen Mo laksana anaknya sendiri, dia tidak ingin terus-menerus melihat seseorang seperti Chen Mo mengalami rasa khawatir yang tiada banding, bahkan ketika dirinya sendiri sedang merasa khawatir. Chen Leung pun hanya bisa berdoa dan menjaga adiknya.

Kertas hijau dan kertas merah sudah diberikan oleh Chen Mo kepada Dokter Lau, guna memberitahunya secara cepat selepas operasi dilakukan. Hijau untuk berhasil, dan merah untuk tidak berhasil.

Dua jam berlalu, malam akan segera tiba. Perut kosong Chen Mo sudah berbunyi-bunyi sedari tadi, Chung Mui menawarkan beberapa makanan yang ditolak langsung oleh Chen Mo. Benar, lagi dan lagi rasa khawatir itu terus melanda, tidak ada ketenangan sekalipun.

Operasi selesai, lampu merah di ruang tunggu sudah mati. Dokter Lau berjalan sembari melepas jubah operasinya, wajahnya datar mendatangi Chen Mo, dan Chen Mo beserta yang lainnya berdiri menunggu jawaban dari Dokter Lau. Dokter Lau menghela napas panjangnya, kemudian dikeluarkannya kertas berwarna hijau tersebut dari kantongnya, tanda operasi berhasil dan berjalan dengan baik.

Kekhawatiran itu pecah, perasaan lega itu datang, tenang itu tiba. Seluruhnya bersyukur dengan kabar tersebut, Chen Mo menangis.

"Pasien akan segera dipindahkan ke ruang intensif, waktu menjenguk ialah esok pagi." Ujar Dokter Lau kepada Chung Mui.

"Baik, terima kasih." Balas Chung Mui sembari menyeka air matanya.

Chen Mo masih menangis penuh kebahagiaan, tidak disangka oleh dirinya sendiri bahwa ini benar-benar hampir membuat hatinya hancur.


Keindahan tiada tara, dibandingkan dengan semesta yang pun tak tertakjub sebenarnya, tapi bagaimana ini tercipta sungguh mampu memilukan perasaan. Merangkum betapa indahnya perjuangan di setiap momen, diabadikan dalam momen tak bersuara. Dipandangi Irene yang sudah tidak memiliki rambut bahkan jika itu sehelai, ketulusan jiwa terpancarkan dari seorang lelaki tidak memiliki harga tukar, Chen Mo.

Silent MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang