Ingin Menjadi Pintar

29 7 0
                                    

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!

-Han Shinwa


Padahal sudah berkali-kali Chen Mo mengalah dengan saudara-saudaranya, tapi tetap saja keadaan ekonomi mereka selalu kekurangan entah mengapa, bisa jadi karena jarak usia antar saudara-saudaranya yang begitu dekat, sehingga jauh lebih membutuhkan biaya yang banyak. Untuk membiayai pendidikan tinggi Chen Ling dan Chen Wo, kerap kali Chen Mo membantu ayahnya untuk menghasilkan pundi-pundi uang dari hasil kerja kerasnya menjadi kuli angkat di pasar. Meski begitu, jauh dalam hati Chen Mo, dia ingin sekali untuk bersekolah seperti orang pada umumnya. Ah, tapi Tuhan terlalu mengadili hidupnya yang tidak sempurna itu, membuatnya harus merelakan apa yang sebenarnya tidak dapat direlakan.

Ujian kelulusan hari pertama Chen Yang dimulai, dia mungkin membenci kakaknya, Chen Mo. Namun, setiap hadiah yang diberikan oleh Chen Mo kepadanya selalu ia terima, karena Chen Yang tahu betapa kerasnya hidup menjadi kakaknya itu. Dia menjadi satu-satunya orang di keluarganya yang masih menghargai keberadaan Chen Mo sebagai seorang manusia bukan sebagai penolak bala, selain ibunya.

Setelah kejadian di atas jembatan sore hari itu, Irene dan Chen Mo menjadi lebih sering bertemu dan melepas rindu di antara keduanya. Berbicara bukanlah menjadi satu-satunya cara mereka menikmati kehidupan antara mereka berdua, tetapi saling mengerti dan toleransi terhadap kekurangan dan kelebihan satu sama lain.

"Chen Mo bukanlah orang yang buruk, dia pria yang sangat luar biasa, sungguh luar biasa. Otaknya terus terasah meski ia tidak bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Di luar batas kemampuannya, dia tembus sebagaimana kemampuannya," kalbu Irene bergetar melihat tubuh kurus-cungkring yang terlalu kelelahan setelah seharian menjadi kuli angkat di pasar.

Berbeda dengan Chen Mo, Irene merupakan anak dari keluarga yang cukup terpandang. Dia memiliki apa yang dia butuhkan, tidak seperti Chen Mo. Melihat nasib hidup Chen Mo benar-benar menganggu sekali dalam diri Irene, membuat Irene ingin terus menggenggam, mendekap, dan melindunginya setiap saat.

"Aa! Aaa," Chen Mo menunjuk-nunjuk ke salah satu toko yang penuh dengan lukisan kota besar dari berbagai negara. Seperti: Tokyo, Paris, London, Seoul, Vancouver, Jakarta, dan lain-lain. Chen Mo mengambil salah satunya, Quebec. "Aaa! Aa," dia mengambil kertas dan bolpoin dalam sakunya, "Negeri indah nun jauh, jika saja aku pintar, aku pasti membawamu ke sana!"

Irene membacanya dan tersenyum, "Kamu ingin menjadi pintar?" Tulis Irene, Chen Mo mengangguk dengan sangat antusias. Irene menggerakan mulut dan tangannya, bertanya "Kenapa?" Chen Mo kembali menulis di kertas tersebut.

"Agar aku tidak perlu merasa malu. Melihatmu yang begitu cantik dan pintar, tidaklah pantas bersanding dengan diriku," tulis Chen Mo, membuat hati Irene terharu sekaligus hancur rasanya jika sekali lagi melihat wajah melas Chen Mo. Meski ditutupi oleh senyum cerah dan pandangan penuh cahaya, Irene sangat yakin bahwa Chen Mo merasa kesepian dan tersakiti selalu. Bukan hanya malu, tapi juga merasa tidak memiliki harga diri.

Aku berjanji akan mengajarimu apa pun yang aku miliki, tenang saja," tulis Irene yang membuat Chen Mo benar-benar kegirangan antusias. Dibelinya gambar kota Quebec tersebut.


Setiap harinya, bahkan ketika ujian masih berlangsung, setelah pulang sekolah dengan sangat riang hati, Irene akan menghampiri Chen Mo untuk mengajari berbagai hal yang ada dalam sekolah. Seperti: Ilmu Pengetahuan Negara dan Nasionalisme, Ilmu Alam, Matematika, dan lain-lainnya. Meski mengalami sedikit kesulitan, tapi otak Chen Mo bukan main luar biasa cerdasnya. Dia dianugerahi kemampuan berpikir 10 kali lipat lebih cepat dari manusia-manusia pada umumnya, tidak, 100 kali lipat!

Beberapa kali orang-orang yang berhubungan dekat atau setidaknya memiliki hubungan dengan ayahnya Irene melihat kedekatan antara Chen Mo dan Irene. Mereka mengatakan kepada ayahnya Irene, Chung Mui, untuk melakukan sesuatu kepada putri cantiknya tersebut. Berbagai hal dikatakan kepada Chung Mui mengenai siapa itu Chen Mo.

"Anak orang miskin dari seorang pedagang ayam di pasar, bisu dan tuli, bahkan tidak bersekolah. Bisa-bisa, anak Tuan Mui ikutan bodoh karenanya," ujar salah satu orang yang melihatnya. Dan lain-lainnya. Bukan melarang, justru Chung Mui penasaran mengapa putrinya itu bisa begitu dekat dengan seseorang bernama Chen Mo tersebut. Berbagai informasi ia kumpulkan tentang siapa itu Chen Mo.

Suatu ketika Irene yang pulang sedikit terlambat, dihentikan oleh Chung Mui, ayahnya. Ayahnya meminta agar putrinya itu untuk duduk sejenak bersamanya. "Siapa Chen Mo, lebih tepatnya pria bernama Lin Chen Mo itu?"

Tidak tahu harus menjawab seperti apa, Irene berusaha jujur saja, "Seorang anak pasar yang bisu dan tuli, tapi otaknya tak terkira cerdasnya, Ayah. Aku sendiri tidak tahu mengapa orang sepertinya tidak sekolah hanya karena bisu dan tuli."

"Karena orang tuanya miskin." Ucap singkat Chung Mui.

Sungguh tidak adil cara dunia ini bekerja, bukan perihal kaya atau miskin, anak itu seharusnya bisa tetap bersekolah meski memiliki kecacatan dalam dirinya. Jika saja dia tidak cacat, pasti dia akan sekolah dan otaknya akan sangat terasah. Membuat Irene hanya diam tidak membalas apa pun. Dia hanya berharap jika dunia sedikit bersimpati atas apa yang terjadi pada Chen Mo.


Ujian kelulusan selesai, hari pengumuman telah tiba, murid yang lulus bersenang nan gembira merayakannya, dan bagi beberapa yang belum hanya meratapi kegagalannya saja di tepian sekolah. Untuk merayakan kelulusan Chen Yang, ayah dan ibu datang ke sekolah sebagai penyambutan anak perempuannya yang sudah lulus. Sedang Chen Mo masih melakukan hal yang sama, melihatnya dari kejauhan saja. Selain itu dia juga bisa melihat Irene yang merayakan kelulusan bersama keluarganya. Namun siapa sangka, hatinya justru remuk bukan main. Dia ingin juga mendapatkan ucapan selamat setelah kelulusan sekolah, bunga, cokelat, beberapa lembar uang sebagai bentuk doa keberuntungan. Meski begitu, dia tetap merelakannya, karena melihat Chen Yang yang tersenyum bahagia saja sudah cukup menyembuhkan dirinya.

Tidak ada yang menyadari kehadiran Chen Mo, terkecuali anak-anak yang tidak lulus saja. Semuanya tengah dirundung rasa bahagia. Seandainya saja, "Selamat Chen Mo! Kamu sudah lulus tahun ini! Ini untuk keberuntunganmu, Nak." Ayahnya itu mengusap rambutnya dengan penuh rasa bangga, Chen Mo tersenyum penuh bahagia. Tidak mungkin terjadi, itu hanya khayalan singkat yang terjadi sesaat dalam pikiran Chen Mo.

Sore hari tiba, Chen Mo berdiri di atas jembatan, di mana Irene biasa menemuinya jika ingin berjalan-jalan. Namun hari ini sepertinya dia tidak akan datang karena akan merayakan kelulusan dengan keluarganya. Chen Mo tidaklah bersedih, dia bahagia sekali. Karena Irene bersedia mengajarinya berbagai hal.

Seseorang menepuk pundah Chen Mo yang membuatnya terkesiap, wajah cantik itu muncul di hadapannya, sebuah keajaiban. Namun, mimiknya tidak menunjukkan kebahagiaan, dia seperti hendak menangis. "Aa?" Ada apa? Itulah yang ditanyakan oleh Chen Mo. Irene hanya menggelengkan kepala, kemudian mengeluarkan secarik kertas yang dia lipat berkali-kali. Setelah memberikannya, Irene mencium Chen Mo selama sekian detik di bawah langit oranye sore hari, tepat di atas jembatan saat pertama kali Irene memeluknya. Selepas itu lekas pergi tanpa menyatakan apa pun lagi kepada Chen Mo.

Dibuka kertas itu oleh Chen Mo, "Hari paling indah adalah saat hari berjalan bersamamu, di sisimu. Aku tidak bisa mengatakannya, tapi aku mohon untuk tidak lagi mencariku. Aku akan kembali, aku yakinkan aku pasti kembali, Chen Mo!" Sesuatu surat yang ambigu, ada apa dengannya tiba-tiba menuliskan surat seperti ini? Chen Mo menjadi penasaran. Mungkin dia perlu bertemu Irene di rumahnya.

Silent MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang