Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!-Han Shinwa
Di lantai bawah setelah terjadinya perseteruan antara Chen Leung dan ibunya, Chen Mo berusaha menenangkan istrinya yang sedang berkecamuk dalam amarah. "Wa, aa, la-waa," sudah, tidak apa-apa. Sekiranya itulah yang hendak dikatakan oleh Chen Mo. Selepas kejadian itu membuat Irene semakin meyakinkan dirinya bahwa kemungkinan anaknya itu akan belajar sesuatu dengan dipindahkan untuk tinggal bersama kakeknya, atau ayahnya Irene. Chung Mui.
"Aku berencana meneruskan SMA Chen Leung di Paviliun Emas. Dia akan tinggal bersama kakeknya selama masa sekolah di sana, demi pembelajaran dalam hidupnya. Aku harap dirimu setuju dengan apa yang aku rencanakan." Tulis Irene dalam secarik kertas. Membacanya tentu sedikit membuat Chen Mo terkejut, karena dia tidak pernah mendengar istrinya hendak memindahkan anaknya ke sana.
SMA Paviliun Emas, merupakan SMA kebanggaan dari keturunan keluarga Irene Mui. Sekaligus, Irene merupakan alumni sana. Sekolah dengan dedikasi tinggi serta ketaatan penuh, kemungkinan besar akan bisa merubah sifat anaknya. Tapi, mana mungkin Chen Mo langsung menyetujui hal itu.
"Mungkin di sana bisa merubah bagaimana Leung bersikap, namun yang tidak kamu pikirkan adalah bagaimana jika Leung tidak cocok di sana? Ini bukan perihal merubah sifatnya, tapi juga perihal di mana dia merasa nyaman." Tulis Chen Mo. Ditarik lagi kertas tersebut, Irene mulai menulis kembali.
"Jika dirimu tidak menyetujuinya, maka biarlah aku yang membawanya seorang diri." Irene benar-benar marah, bahkan kali ini dia tidak menganggap pernyataan Chen Mo.
"Baiklah, besok kita akan ke rumah ayahmu untuk membicarakan hal ini." Balas Chen Mo.
Keesokan hari di mana waktu anak-anak bersekolah, Chen Mo dan Irene pergi ke rumah ayahnya itu, Chung Mui. Sudah lama mereka tidak berkunjung, namun mereka tidaklah membawa Chen Leung dan Chen Lili yang membuat ibu sedikit merasa kecewa. Karena ini genting bagi Irene, jadi mau tidak mau.
Chen Mo, Irene, ayah, dan ibu duduk melingkar di ruang tengah atau keluarga. Diceritakan apa yang terjadi dan apa yang diinginkan oleh Irene. Ibu menatap ke arah ayah, "Jadi seperti itu, kedatangan Irene dan Chen Mo untuk membicarakan hal ini." Chung Mui tersenyum.
Ibu menulis di selembar kertas menggunakan bolpoin, "Percaya atau tidak, tapi Chen Leung telah mewarisi tekad dan kekuatan ayahmu." Chen Mo dan Irene sama-sama menatapi ibu lamat-lamat. Kemudian dituliskannya kembali beberapa saat, "Anak kalian mewarisi darah keturunan Mui. Keluarga kita. Ayahmu tidak pernah bercerita mengenai hal itu karena hanya dia satu-satunya yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Setelah sekian tahun lamanya, dia mulai menyerah terhadap apa yang seharusnya diwariskan, dan mulai fokus hanya untuk membesarkanmu, Irene. Namun, hal itu justru menurun kepada anakmu, Lin Chen Leung Mui."
Tidak ada yang mengetahui siapa Chung Mui sebenarnya, tidak satu pun, bahkan Irene pun tidak mengetahuinya. Sedikit tidak percaya, tapi nama Chung Mui terkenal di kalangan sekolah SMA Paviliun Emas. Seorang pria pemegang kekuatan ketenangan.
Diambilnya kertas itu oleh Chung Mui, dituliskannya kata-kata, "Lin Chen Mo, kita tidak seharusnya percaya dengan tekad terwariskan, namun nyatanya itu menjadi sebuah kenyataan. Jika dirimu dahulu dianggap kesialan dalam keluarga, maka Lin Chen Leung telah terlahir sebagai penghancur kesialan dalam keluarga. Bukan menahan, tapi menghabisi. Anak itu menjadi memiliki sebuah tali perjalanan yang melambangkan harapan, yang sangat luas." Tulis Chung Mui. Chen Mo mematung dengan wajah pucat pasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moment
Fiction générale(MOMEN TANPA SUARA) Chen Leung, di tangannya sebuah kamera mampu menangkap gambar mahakarya. Hidupnya tidaklah mudah dijalani, usah pikirkan. Kesedihan, penderitaan, kesunyian, air mata, dan kegelapan kerap kali datang. Namun, kebahagiaan, kesenanga...