Momen yang Ditangkap

23 5 0
                                    

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!

-Han Shinwa


Irene menghampiri suaminya yang sedang duduk melamun di samping kasur lipat, sesuatu sedang terpikirkan dalam kepala Chen Mo, dan sudah dia tuliskan dalam secarik kertas. "Kelihatannya aku belum bisa menjadi seorang ayah yang diharapkan, ya. Semua masalah selalu kutangguhkan kepadamu, membuatku tidak berdaya apa-apa, hingga ayahmu mengulurkan tangan juga demi membantumu." Irene tersenyum dan mengambil kertas tersebut dan bolpoinnya.

"Ayahku datang untuk membantu cucunya bukanlah diriku, usah terlalu dipikirkan, meski dirimu tidak memiliki sayap, aku akan selalu yakin bahwa kita akan terbang bersama tanpa rasa takut dan khawatir." Tulis Irene. Mereka saling tukar pandang dan tersenyum.

Chen Leung beranjak remaja, beberapa kali ia kerap membantu ayahnya setelah pulang sekolah untuk mengangkat berbagai macam jenis kain. Bukan hal yang merepotkan, bagi Chen Leung sendiri ini berguna untuk mengisi waktu kosongnya. Tidak ada lagi yang menghina ayahnya baik bisu ataupun tuli, mereka sudah tahu apa konsekuensinya nanti. Bisa-bisa dihajar habis-habisan oleh Chen Leung. Meski menjadi terkenal kasar, Chen Leung tetap dipandang sebagai seorang anak yang baik yang sering membantu orang tua oleh tetangga-tetangga sekitar.

Sekali lagi saat dia hendak mengantarkan sebuah pakaian ke Nyonya Rui, dia melihat seorang fotografer dengan peralatan kamera yang sangat lengkap. Sungguh idaman sekali, memutarnya 90 derajat, lalu mengembalikan derajatnya lagi untuk mengambil sebuh sudut pandang gambar yang menarik. Pemandangan, orang berlalu-lalang, serta angin yang mengudara bisa ditangkapnya oleh kamera tersebut.

"Hoi, anak muda!" Bapak tua itu memanggil Chen Leung, "kemarilah!" Segeralah mendekat Chen Leung menghampiri bapak tua yang memegang kamera tersebut. Bapak tau itu memberi instruksi kepada Chen Leung agar berdiri di depannya dengan memegang sebuah kotak perkakas, lalu diambilnya gambar dirinya. "Nah, bagus sekali. Seorang anak perkakas nama konsepnya." Girang suara bapak tua tersebut. Diberinya gambar tersebut oleh bapak tua itu, bahagia sekali perasaan Chen Leung saat wajahnya muncul dalam lembar foto.

Berkat bapak tua fotografer tadi Chen Leung menjadi terlambat dalam mengantarkan pakaian milik Nyonya Rui. Meski sedikit kena komplain, bukan masalah besar karena Chen Leung mendapatkan sesuatu yang sangat bagus. Hasil jepretan kamera.


Chen Leung sendiri tahu bahwa harga kamera itu tidaklah murah, perlu banyak uang untuk membelinya, karena itu dia memutuskan untuk sellau menyisihkan uang jajannya setiap hari sepulang sekolah. Ibunya yang mengetahui alasan anaknya itu juga diam-diam menyisihkan uang belanja jika tersisa. Selama ini Chen Leung selalu menjadi orang yang mengalah, mungkin keinginannya memiliki kamera menjadi salah satu yang paling diinginkannya. Chen Leung bahkan rela membantu ayahnya lebih banyak dari biasanya agar mendapatkan uang tambahan dari ayahnya.

Uang dari hasil ayahnya yang hanyalah seorang penjahit pasti akan sangat kekurangan, belum ditambah biaya yang ada di rumah, kemudian bahan makanan, lalu sekolahnya dan sekolah adiknya. Sesekali ibunya itu juga bekerja mengumpulkan barang-barang bekas yang kemudian dijual kembali dengan harga miring. Menjadi perjuangan tersendiri bagi Chen Leung dalam melakukan semua ini demi sebuah kamera yang ia inginkan.

"Liang Chen," ibunya memanggil, "ini, sisihkan ke tabunganmu. Mama tahu kamu ingin sebuah kamera berkat kapan hari itu." Tersenyum sumringah Chen Leung mendengarnya dan segera memasukkan uang tersebut ke dalam tabungannya.

Meski sedang menabung, Chen Leung tidaklah menjadi seseorang yang pelit, setiap malam jika ada festival dia selalu membelikan sesuatu kepada Chen Lili agar adiknya itu merasa senang. Di saat Chen Lili perlu sepatu, maka Chen Leung membelikannya. Di saat Chen Lili memerlukan buku baru, Chen Leung pun turut membelikannya, bahkan pensil baru saja Chen Leung juga membelikannya untuk adiknya itu.

Bukan karena Chen Lili sedang membutuhkannya, tapi bagi Chen Leung seorang adik perempuan itu menjadilah harta paling tidak tergantikan. Memiliki seorang anak perempuan menjadi harta tak berbanding nilainya. Itu mengapa Chen Leung sangat menyayangi Chen Lili. Menjadikan Chen Lili anak yang paling disayang dalam keluarga.

Di suatu pagi saat Chen Leung hendak berangkat ke sekolahnya, dia kembali bertemu dengan bapak tua fotografer tua itu sedang memotret bagian sana-sini pasar. Seperti semua sudut bagaikan mahakarya yang dapat tercetak begitu indah. Chen Leung memberanikan diri mendekati bapak tua itu.

"Permisi," bapak tua itu menoleh, "jika berkenan saya hendak bertanya, apalah indah sebuah sudut pasar untuk dipotret menggunakan kamera? Toh, isinya hanya itu-itu saja." Walau sedikit heran, bapak tua fotogarfer tersebut tersenyum kepada Chen Leung.

"Lihatlah," bapak tua itu menunjukkan hasil-hasil jepretannya dalam kamera, terkesan tidak ada yang menarik dan biasa saja, "namanya perpektif, Nak. Mungkin bagi sebagian orang sudut pasar tidaklah terlihat menarik, namun bagi sebagian orang ada juga yang menganggap sudut pasar itu menarik nun menawan. Itulah kita sebut sebagai minat, menangkap momen sesuai suatu sudut pandang dan juga minat." Timbul wah~ panjang dari mulut Chen Leung.

"Tertarik mencoba?" Sebuah kesempatan emas, sangat langka hingga mau tidak mau tubuh Chen Leung reflek menerima tawaran tersebut.

Dalam indahnya jepretan kamera, menawannya momen yang ditangkap, serta perspektif yang berbeda-beda mampu menenggelamkan Chen Leung dalam sebuah mahakarya ciptaan tangannya sendiri menggunakan sebuah kamera. Bapak tua itu hanya terdiam, termangu menatap jepretan seorang anak remaja yang sangat indah dan luar biasa, magnificent! Tangannya lihai memainkan posisi kamera, menghitung hanya dengan jengkalan jari, memastikan sudut yang dipotret tepat dan pas. Crek! Dan awesome! Tangannya begitu sakti memanfaatkan kamera, dia terlahir seperti untuk berpasangan dengan kamera. apa yang membuatnya seperti itu, entahlah itu menjadi rahasia alam.


Akibat pagi yang terlalu asyik dengan kamera, Chen Leung kena marah sekaligus hukuman dari guru. Tidak masalah, rasa puasnya dengan kamera tersebut telah terlampiaskan dengan baik. Bayangkan saja jika dia tidak berani menegur sapa bapak tua itu, mana mungkin sekarang dirinya merasa setenang ini.

"Hoi," temannya datang ikut keluar, "kena juga." Itu Faye. Dia pasti tidak mengerjakan tugas sekolah.

"Tugasku pekan lalu lupa kukerjakan, jadi tak lepas hukuman." Benar, kan.

"Kau sendiri, padahal kau mengerjakan tugas tersebut, tapi datanglah terlambat ke sekolah. Kacau kelihatannya." Ujar Faye. Ah, tidak masalah, peduli apa perihal hukuman. Yang jelas perasaannya jauh lebih tenang karena kamera tersebut. Hal itu membuat Chen Leung semakin giat menabung untuk cepat-cepat membeli sebuah kamera baru.

Mungkin berbagai jenis pekerjaan yang tersedia di pasar bisa membantunya untuk mendapatkan uang lebih agar bisa menabung membeli kamera. Lalu, uang jajan dari ayah dan ibu akan disisihkan sebaik mungkin. begitulah jalan pikir Chen Leung saat ini. Kemudian lamunan itu dipecah oleh Faye yang sedari tadi merasa aneh melihat Chen Leung senyum-senyum sendiri.

"Hoi, Faye," Faye menoleh, kini mereka berdiri samping-sampingan di tengah lapangan tepat di bawah sinar matahari yang terik, "apakah kau punya suatu keinginan?"

"Tentu saja, pergi ke Paris." Jawabnya.

"Lalu, apa yang kau lakukan demi pergi ke sana?"

"Mencari uang."

"Itu dia, Faye." Perjalan mencari uang untuk membeli kamera baru dimulai.

Silent MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang