Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih. Enjoy!
-Han Shinwa
Sudah 3 hari berlalu dan selama itu juga Madelaine tidak berangkat ke sekolah, akhir pekan ini sudah hampir tiba, bahwa Chen Leung ingin menyatakan apa yang telah dirasakan selama ini kepadanya. Namun, dirinya tidak kunjung menunjukkan diri. Bahkan pihak sekolah juga tidak mengonfirmasi informasi apa pun mengenai dirinya.
"Entahlah, mungkin dia jatuh sakit." Ucap Mo Fai saat Chen Leung menanyai perihal Madelaine. Memang tidak ada yang tahu, mungkin ucapa Chow Mo Fai ada benarnya, jika Madelaine bisa saja jatuh sakit.
Baiklah, ini menjadi kesmepatan untuk Chen Leung menyiapkan beberapa buah tangan, dia bisa memberikannya kepada Madelaine. Pekan ini dia mendapatkan upah kembali dari hasil menjadi seorang fotografer muda, ¾-nya dia tabung, sisanya dia pakai untuk membeli hadiah untuk diberikan kepada Madelaine. Gadis sepertinya mungkin tidak menyukai hadiah yang terkesan biasa saja, mungkin Madelaine jauh lebih menyukai hal-hal yang berbau perhiasan, seperti: kalung, cincin, atau gelang.
Tidak pernah dirinya seperti ini sebelumnya, mungkin karena pengaruh perasaannya terhadap Madelaine jadi dia melakukan hal di luar batasannya. Chen Leung jauh berpikir, mungkin ini yang dirasakan juga oleh orang-orang pada saat jatuh cinta, mereka mau melakukan apa saja untuk hal semacam itu. Sungguh gila, tapi anehnya tetap berjalan.
Sebelum itu, seharusnya Chen Leung memikirkan dulu bagaimana jika nanti Madelaine ternyata menolak hadiah pemberiannya, tapi dia sudah tampak tidak peduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Yang paling jelas Madelaine harus tahu bagaimana perasaannya saat ini kepada dia. Mengenai ditolak atau diterimanya pemberian tersebut itu adalah urusan belakangan, bagi Chen Leung saat ini tidak ada yang menghentikannya.
Kedua orang ini seperti memiliki kisah yang sama perihal asmara, ayah dan anak. Chen Mo dan Chen Leung benar-benar terjerat dalam jatuh cinta pertama mereka. Dengen beberapa tantangan yang ada, Chen Mo sendiri berhasil mendapatkan cinta pertama dan terakhirnya tersebut. Sedangkan Chen Leung tidak ada yang tahu, dia hanya berkata pada dirinya doakan saja semoga dia bisa mendapatkan cinta pertamanya itu. Peduli apa dia dengan apa yang terjadi, yang penting saat ini adalah melakukannya dengan baik.
Sesungguhnya pertemuan pertama antara Chen Leung dan Madelaine tidaklah bisa dibilang bagus, mereka bisa dianggap seperti air dan minyak, tidak dapat menyatu. Bukan karena Chen Leung yang membenci Madelaine atau sebaliknya, melainkan Madelaine yang terus-terusan mengacuhkan keberadaan Chen Leung. Hingga suatu hari Chen Leung memberanikan diri untuk memberitahunya sedikit pelajaran mengenai Bahasa Mandarin, dan Madelaine sendiri tidak keberatan jika Chen Leung menjadi teman belajarnya.
Dari teman belajar, mereka menjadi teman dekat. Beberapa kali Madelaine meminta pendapat mengenai lukisan barunya kepada Chen Leung untuk mendapatkan kritik serta saran darinya. Dari sana juga Madelaine semakin dekat dengan Chen Leung dan perlahan menumbuhkan sebuah bunga perasaan yang didasari rasa kasih sayang.
Berbeda dengan Chen Leung yang ternyata bedebah soal perasaan kasih sayang, bisa dibilang karena dia lahir dan tumbuh dari keluarga yang penuh kasih sayang, maka dia sangat sulit merasakan perasaan orang lain yang sedang membutuhkan kasih sayang. Madelaine menyadari itu, dan merupakan alasan mengapa dia menjauh dari Chen Leung. Karena Chen Leung tidaklah lagi membutuhkan kasih sayang dari seseorang sepertinya.
Di malam yang sunyi di mana angin berembus kencang, Chen Mo menyiapkan semangkuk sup untuk istrinya yang terbaring lesu, suhu tubuhnya kian hari kian menaik. Hendak dibawa ke dokter tapi Irene menolak, dia mengatakan bahwa itu akan mengganggu suaminya yang sudah seharian penuh menjaga rumah. Mau tidak mau, Chen Mo menuruti perkataan Irene.
Mereka bertiga makan malam bersama, dengan rasa khawatir Chen Mo yang melihat wajah Irene sudah pucat pasi. Dia meletakkan mangkuk nasi dan sumpitnya, mengambil secarik kertas berserta sebuah bolpoin. "Besok pagi aku akan membawamu ke dokter, memerika keadaanmu terlebih dahulu. Ikuti saja kataku, jangan menolak."
Irene tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Chen Mo begitu tegas dalam meneguhkan pilihannya. Bahwa selama ini hampir segalanya yang mengatur tindakan Chen Mo adalah Irene, namun ternyata suaminya itu bisa juga melakukan tindakan tegas. Irene mengangguk. Hal-hal sepele seperti inilah yang terus menjadi alasan mengapa Irene bisa jatuh cinta berkali-kali kepada Chen Mo.
Keesokan hari setelah Chen Lili berangkat ke sekolah, Chen Mo membawa istrinya ke dokter setempat untuk memeriksakan keadaannya. Tubuhnya semakin terasa lemas, bahkan kaki kanannya saja sudah mulai sulit digerakkan. Kondisi yang tengah dialami oleh Irene sungguh mengkhawatirkan, dengan cepat Chen Mo segera mencari dokter untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap istrinya itu.
Keterbatasannya dalam berkomunikasi menjadi salah satu hambatan bagi Chen Mo sendiri, tapi dia berhasil mengatasinya dengan menyiapkan beberapa secarik kertas yang telah ia tuliskan mengenai penyakit istrinya belakangan ini.
Hari ini Chen Leung sudah bersiap untuk menyambut kehadiran dari Madelaine, meski dia tidak tahu bahwa Madelaine akan hadir di sekolah hari ini atau tidak, tapi hatinya yakin jika hari ini adalah hari yang tepat untuk menyatakan semuanya. Chen leung yakin kalau Madelaine pasti akan datang.
"Lihatlah, aku telah membeli beberapa hadiah untuk kuberikan kepada Madelaine. Bukankah ini akan bagus, jika dia baru saja lekas sembuh itu tambah bagus. Mungkin dia akan merasa sangat senang dengan ini." Ucap Chen Leung, sedikit merasa pamer kepada Chow Mo Fai.
Namun, ekspresi yang ditunjukkan oleh Mo Fai sedikit berbeda. Tidak heran, tidak senang, tidak pula sedih. Dia ketakutan.
"Ada apa?" Tanya Chen Leung.
"Kau belum diberitahu oleh Mei, ya?" Chen Leung melipat dahinya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Memangnya diberitahu apa?" Terlihat tangan Chen Leung semakin erat menggenggam.
"Madelaine sudah pindah sekolah, dia kembali ke Amerika bersama keluarganya. Mei memberitahuku semalam." Ucap Chow Mo Fai.
Tidak memandang kembali Mo Fai, Chen Leung segera beranjak berlari kelas dan menghampiri kelas sebelah untuk menemui Mei. Dilepasnya hadiah tadi begitu saja, dilupakan sejenak hanya untuk memastikan kabar tersebut. "Mei!" Teriak Chen leung yang langsung mengalihkan perhatian satu kelas tersbeut kepadanya. "Katakan kepadaku bahwa itu tidak benar, kumohon." Wajah Chen Leung sangat memelas.
Mei menarik napasnya, "Itu benar, Chen Leung." Patah sudah hati Chen Leung, hancur perasaannya kini. Dia terlambat, sangat terlambat.
Chen Leung bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepadanya, tidak pula sempat untuk menyatakan perasaan dirinya kepada Madelaine. "Tidak mungkin, bukan," gumamnya masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi saat ini. Serasa biru harinya, waktu berjalan lambat sudah, harus menerima apa yang terjadi, dan itulah kenyataannya.
"Ada yang perlu kau ketahui juga," Mei mengeluarkan secarik kertas yang dibalut dengan ikatan tali merah, "dia bilang ini untukmu."
Dengan peraaan dan pikiran yang kalut dalam kesedihan tidak karuan, Chen Leung berjalan keluar dari sana bersama wajahnya yang pucat pasi. Chow Mo Fai yakin jika ini akan terjadi kepada temannya satu ini, tapi mau tidak mau kan, Chen Leung harus tahu. Pun, jika tidak diberitahu, waktu yang akan memberitahunya.
Dibukanya perlahan ikatan tali merah yang membalut kertas tersebut oleh Chen Leung, sebuah pesan tertulis di balik penutup lembar itu, "Tidak, tidak ada yang membuatmu mengganggu diriku, hanya saja berlebihan jikalau kukatakan seperti itu. Aku sengaja melakukannya untuk menjauh darimu, ini adalah keputusannya. Meski kita memiliki waktu lebih lama, tidak ada alasan untuk kita tetap bersama. Ayahku akan tetap yang memutuskan segalanya. Namun, aku masih memiiki harapan untuk bertemu kembali denganmu suatu hari nanti. Mungkin ini tidak pantas, tapi aku memang mencintaimu, Lin Chen Leung." Tertanda di sana, dari Madelaine.
Penjelasannya rancu, sehingga Chen Leung yang membaca surat tersebut tidak mengetahui dengan pasti apa alasa Madelaine kembali ke Amerika. Hanya mengatakan itu adalah keputusan ayahnya. Namun tetap saja, perasaan Chen Leung tidaklah membaik. Dia baru saja merasakan, cinta itu rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moment
General Fiction(MOMEN TANPA SUARA) Chen Leung, di tangannya sebuah kamera mampu menangkap gambar mahakarya. Hidupnya tidaklah mudah dijalani, usah pikirkan. Kesedihan, penderitaan, kesunyian, air mata, dan kegelapan kerap kali datang. Namun, kebahagiaan, kesenanga...