Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih. Enjoy!
-Han Shinwa
Ketika Chen Mo baru saja kembali dari pasar setelah membeli beberapa bahan makanan, suhu tubuh istrinya itu kembali menaik yang membuat kasur lipat itu menjadi panas. Sebelumnya, hal ini sudah membaik, tapi tiba-tiba saja gejalanya kembali. Secepat angin berhembus, Chen Mo mengambil air hangat dari termos, dicelupkannya handuk untuk dibalutkan pada dahi istrinya.
Irene hendak berbicara, namun mengingat bahwa suaminya tidak akan mendengar dia segera mengambil secarik kertas dan bolpoin. "Sepertinya aku kelelahan, rasa mengantuk ini berlebihan. Bisakah kamu menggantikanku untuk memasak hari ini saja?"
"Aaa-waa, aaa," Chen Mo mengangguk-angguk, artinya dia akan menggantikan istrinya itu untuk memasak. Tidak masalah baginya, yang jelas Irene harus istirahat.
Tanpa perlu bertanya apa-apa lagi, Chen Mo bisa melakukan berbagai hal di rumah, mencuci pakaian, menjemur, kemudian memasak. Dia hanya meminta Chen Lili setelah pulang sekolah nanti langsung menjaga ibunya. Hari ini dia tidak memiliki waktu untuk membuka toko jahitnya, sehingga seharian ini dia terpaksa menutupnya.
Irene sendiri sesungguhnya tidak tega melihat suaminya melakukan segalanya seorang diri, dengan keterbatasannya itu dia benar-benar mampu melakukan banyak hal dengan sangat baik. Dia ingin sekali membantu jika keadaannya memungkinkan. Namun kepalanya sangat sakit, penglihatannya mengabur, dan rasa kantuknya sangat besar. Bahkan tubuhnya saja merasa panas, membuat dirinya tak sanggup untuk berdiri.
Chen Lili merasa sangat khawatir dengan kondisi ibunya.
Chen Leung menutup dan mengunci lokernya, dibawanya jaket cokelat lusuh miliknya itu, kemudian suara derapan langkah kaki terdengar sangat ramai. "Hoi, anak muda. Bagaimana kabar ayahmu yang tuli itu? Tunggu, apakah dia sudah bisa berbicara sekaranga?" Itu adalah malapetaka bagi Chen Leung, Ho Po-wing.
Dia membalikkan tubuh ke arah Po-wing. "Kuharap dia baik-baik saja, sudah lama aku tidak melihat ayahmu, Kawan." Bersama dengan 4 temannya, tidak mungkin Chen Leung meletupkan emosi saat ini,
"Ada apa denganmu? Kau juga ikut-ikut tidak bisa berbicara?" Seluruh teman-temannya tertawa kepada cemoohan Po-wing terhadap Chen Leung.
"Jadi anak ini yang sering kau bicarakan, ya?"
"Sungguh malang, ha ha ha."
"Jangan seperti itu, nanti dia bisa saja menangis lalu mengadu kepada ayahnya. Tidak, tunggu, ayahnya tidak bisa mendengarnya aku lupa! Hahaha!" Tawa mereka semakin menjadi-jadi. Mengkal sekali hati Chen Leung melihat bagaimana mereka bersikap, tidak pernah berubah sejak dahulu. Bukan orang-orang ini, tapi Ho Po-wing.
Tidak ingin emosinya terus bertambah, Chen Leung memutuskan untuk mengalah. Dia tahu, dia sudah pernah terkena masalah sekali, oleh karenanya kali ini dia lebih memilih untuk tidak menimbulkan masalah lainnya. Segera pergi dirinya menuju ruang auditorium untuk menemani Mei berlatih dengan pianonya.
Auditorium ternyata sangat kosong, hanya terdapat Mei yang sudah duduk di depan pianonya di atas panggung. Dia tersenyum kepada Chen Leung. "Duduklah di salah satu kursi penonton, perhatikan saat aku bermain, setelah itu aku ingin dirimu mengenali apa saja kesalahanku."
Chen Leung duduk di salah satu kursi lalu bersiap mendengarkan Mei bermain, lantunan nada berbunyi dari piano tersebut. Tangan Mei sangat lihat bermain, perlu latihan yang lama untuk menguasainya. Ketukan-ketukan nada silih berganti dan berkesinambungan. Sangat indah, nada demi nada mengalun ke telinga Chen Leung yang membuat diam mematung, terpukau. Diakhiri dengan pelahan, ketegangan Mei mulai berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moment
General Fiction(MOMEN TANPA SUARA) Chen Leung, di tangannya sebuah kamera mampu menangkap gambar mahakarya. Hidupnya tidaklah mudah dijalani, usah pikirkan. Kesedihan, penderitaan, kesunyian, air mata, dan kegelapan kerap kali datang. Namun, kebahagiaan, kesenanga...