Serba Bisa

15 4 0
                                    

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!

-Han Shinwa


Kian hari kian sibuk toko jahit milik ayahnya itu, membuat Chen Leung sehabis pulang sekolah langsung membantu ayahnya untuk mengelola toko jahit. Bukan menjadi beban baginya, dia melakukan ini demi mendapatkan uang tambahan yang bisa saja dia sisihkan untuk membeli kamera baru yang diinginkannya. Tidak jarang juga orang yang datang untuk memaki ayahnya karena hasil jahitannya kurang bagus, bukan sekadar komplain, marah-marah. Ayahnya yang tuli tidak dapat mendengar emosi yang diluapkan pelanggannya, hal itu menjadi pekerjaan tambahan lagi untuk Chen Leung. Kata-kata orang yang begitu kasar kerap kali membuat hatinya merasa tersakiti, tapi ayahnya selalu bertindak tenang dan tersenyum, seakan bukan masalah besar harga dirinya telah diinjak-injak.

Ma Li, teman sekelas Chen Leung juga sering datang ke rumah, untuk sekadar membantu Chen Leung selepas itu pergi bermain bersamanya. Bagi Ma Li, apa yang dilakukan oleh anak seusia Chen Leung sungguh berat, bahkan bisa dibilang di atas kemampuannya. Namun entah mengapa, Chen Leung selalu menjalankannya dengan sebaik mungkin.

"Itu namanya keinginan, keinginanku begitu nyata sehingga hal-hal di luar nalar tidak mampu menembus batas kekuatanku," ujar Chen Leung yang tidak dapat dipahami oleh Ma Li sedikit pun.

Tidak menjadi masalah bagi Chen Leung jika ia harus merasa lelah karena bekerja di pasar, entah sebagai apa pun. Pengantar bahan makanan, pengantar koran, penjaga toko, dan pengangkut balok es yang terkadang membuat indera peraba tangannya mati rasa. Apa pun itu yang penting ia mendapatkan uang. Baik ayahnya atau ibunya tidak ada yang mengetahui bahwa Chen Leung bekerja sampingan seperti itu, dan meminta Ma Li merahasiakan ini.

"Itu hanya sebuah kamera, Leung. Buat apa dipertaruhkan mati-matian dengan harga yang tidak sepadan?" Cemooh Ma Li.

"Bukan itu, bukan. Bukan perihal harga, tetapi penghargaan. Pekerjaan sulit itu melelahkan, setidaknya aku dapat penghargaan atas usahaku," balas Chen Leung.

"Itu tidak sebanding, Leung. Lihatlah Po-wing, dia punya satu kotak kecil dalam genggaman tangannya, bisa untuk mengambil gambar, mengirim pesan, dan menghubungi orang via suara seperti ponsel pada umumnya." Ujar Ma Li.

Ponsel pintar, atau smartphone disebutnya. Benda kecil persegi panjang yang serba bisa dan berada dalam genggaman tangan. Sangat mudah dibawa ke mana-mana. Info kecil saja bahwa Ho Po-wing merupakan orang yang memiliki banyak uang, sehingga apa pun yang sedang trending selalu dimilikinya. Berbeda dengan dua bocah yang sedang berjalan di tengah pasar ini, mereka perlu perjuangan berat untuk memiliki sesuatunya.

Teman-teman di sekolahnya pun sangat membangga-banggakan barang dalam genggaman tangan Po-wing tersebut. Memang kelihatan sangat hebat, canggih bukan main, bisa memutar video pula. Po-wing sendiri bangga mamerkan hal tersebut, meski terjadi sedikit iri hati dalam diri Chen Leung, namun itu tidak membuatnya hilang tujuan untuk mengumpulkan uang demi membeli sebuah kamera. Barang mewah berwarna hitam itu sangat serba bisa, memutar musik dengan suara yang kencang juga dapat dilakukannya, mencari informasi dari berbagai sudut dunia, dan mengetahui apa yang sedang terjadi di luar sana. Sungguh hebat.

Setiap habis pulang sekolah, kini pikirannya hanya menjadi satu tujuan, pergi bekerja sampingan untuk mengumpulkan uang, lalu pulang. Esoknya bernagkat sekolah, pergi bekerja sampingan di pasar lagi untuk mengumpulkan uang, lalu pulang beristirahat, esoknya diulang lagi. Itu semua demi membeli sebuah kamera baru.

Silent MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang