Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, kawan!
Klik ikon bintang sebagai bentuk dukungan kalian kepada sang penulis. Saya ucapkan terima kasih.
Enjoy!-Han Shinwa
Semenjak Ah Ping memberitahu apa yang sebenarnya dilakukan Chen Leung di luar sana, selepas pulang sekolah Chen Mo selalu menyempatkan diri menjemput anaknya itu. Jika berangkat sekolah pagi, maka Chen Mo akan meminta tolong Ma Li yang rumahnya hanya berjarak beberapa blok dari rumah miliknya. Sehingga bisa dipastikan Chen Leung tidaklah bisa bolos dari sekolah, ditambah 4 bulan lagi mereka akan segera melangsungkan ujian kelulusan. Mereka harus mempersiapkan nilai sebaik mungkin guna masuk ke pendidikan sekolah menengah atas.
Sesungguhnya, pendidikan di era saat ini sudahlah jauh lebih mudah dijangkau, itulah penyebab mengapa Chen Leung bersikap santai saja. Tapi, rasa trauma yang pernah dialami ayahnya itu tidaklah menghilang, bahwa pendidikan dulu sangat sulit untuk diraihnya sebagai seseorang yang bisu dan tuli. Keinginannya hanya satu, Chen Leung berhasil menamatkan pendidikan tingginya, sama seperti saudara-saudaranya Chen Mo dulu. Sesuai dengan janji Chen Mo juga, apa pun yang terjadi, anak itu harus berpendidikan.
Ma Li, yang sejak sekolah pendidikan dasar sudah berteman baik dengan Chen Leung mengerti akan perasaan dan keinginan temannya tersebut. Sehingga beberapa kali, uang jajannya sengaja dia sisihkan untuk diberikan kepada Chen Leung. Namun, Chen Leung menolak itu, dia mengatakan itu hanya akan menghina ayahnya saja. Chen Leung tidak ingin ayahnya yang tuli dan bisu itu semakin terhinakan karena anaknya yang menerima uang dari orang lain.
Ada satu hal yang menjadi perseteruan Chen Leung dengan dirinya sendiri, mungkin memang pendidikan saat ini jauh lebih mudah diraih, bahkan untuk masyarakat kalangan bawah. Namun tetap saja, hal itu memakan biaya yang tidaklah sedikit. Lumayan banyak, bahkan jika dihitung-hitung, hasil dari toko jahit milik ayahnya saja tidak akan mencukupi kebutuhan pendidikan Chen Leung dan Chen Lili. Itulah yang menjadi beban pikiran Chen Leung. Karena itu dia tidak mampu berangan tinggi untuk membeli sebuah kamera baru. Dia bisa saja meminta kepada kakeknya, tapi ayahnya pasti akan sangat murka dengannya.
Sesuai permintaan ayahnya yang hanya ingin supaya Chen Leung sekolah dengan baik, Chen Leung menuruti permintaan itu. Setiap malamnya dia mulai belajar dengan rutin dan juga sangat baik. Ayahnya yang kerap kali memeluk dirinya saat tertidur, kini tidaklah lagi bisa karena Chen Leung yang terlalu fokus dengan belajarnya.
Sesekali Chen Leung-lah yang memeluk ayahnya yang sudah terlelap dalam tidurnya di atas kasur lipat. Tidak mungkin disangkalnya bahwa sesungguhnya jauh dalam dirinya, terdapat sedikit rasa benci, rasa tidak terima perihal memiliki seorang ayah yang disabilitas pendengaran. Karena setiap kali Chen Leung merasa lelah, dia sangat ingin bercerita kepada ayahnya itu, namun apa dikata bahwa ayahnya itu tidak dapat mendengar.
Nyali ayahnya yang begitu besar, serta didukung oleh tekad kuatnya, terkadang bisa merepotkan Chen Leung juga. Dia duduk di samping ayah dan ibunya yang sudah terlelap, hanya ditemani gelap malam. Ditatap wajah kedua orang tuanya itu lamat-lamat, "Warna langit sebegitu indah hingga Hong Kong bukan lagi tempat di mana mimpiku bisa hidup, seandainya bisa kuubah, aku ingin mengubahnya. Tiada satu pun mampu melawan takdir langit, tapi siapa takdir langit itu?" Bisik hening Chen Leung.
Hanya sebuah rumah kecil, jika tidur mereka hanya dipisah oleh sekatan papan tipis di antara ruang tidur ayah dan ibu, dan ruang tidur Chen Leung dan Chen Lili. Chen Leung menatap wajah adiknya yang terlelap di seberang sana. "Apa yang kukejar hingga menghina Baba adalah seseorang yang miskin? Katakan saja padaku, tidak masalah."
Keesokan hari selepas Chen Leung pulang sekolah, Ma Li seperti biasa sesuai permintaan ayahnya Chen Leung, dia diminta untuk menjaga Chen Leung agar tidak keluyuran di pasar dan langsung pulang ke rumah. Saat tiba di rumah, Chen Leung dan Ma Li dikejutkan oleh kerumunan orang yang ada di dalam toko jahit itu. Berteriak-teriak keras, marah tiada terkira hingga membuat Irene, ibu Chen Leung turun tangan.
"Sial! Acara saya jadi hancur kemarin malam karena jahitan pakaiannya yang rusak! Itu membuat kami kehilangan momen penting!" Teriak pria berjas cokelat muda, sepatu pantofel hitam mengkilap, serta rambut yang disisir rapih.
"Kami memohon maaf atas kesalahan yang terjadi, Tuan. Biarlah hendak kami ganti." Ucap Irene dengan tenang. Tidak bisa, pria itu semakin muntab.
"Pakaian ini mungkin bisa diganti! Namun momen yang terjadi telah terlewatkan, dan itulah yang pentingnya! Kalian mana mampu membayar itu semua, tukang jahit!" Digebraknya meja oleh tangan Chen Leung yang datang masih menggunakan seragam sekolahnya. Ma Li khawatir dengan kondisi tangan Chen Leung yang memerah.
"Wahai Tuan Terhormat, marahlah sesuai kadarnya, gunakan emosi sesuai pada tempatnya. Jika kesalahannya sudah hendak kami tanggung, alangkah baiknya kalian menerima dengan suka cita," Ma Li tidak menyangka bahwa tutur kata Chen Leung sangatlah bagus, "kalau tidak mau, maka lekas pergi."
Di antara perbincangan sengit itu, hanyalah Chen Mo yang tidak tahu apa yang terjadi. Urusan komplain memang sering diterima, tapi wajah anaknya yang merah padam itu jaranglah dia melihatnya.
"Chen Leung, jangan berkata demikian." Tidak dihiraukannya kata-kata ibunya itu oleh Chen Leung. Dia tetap melangkah ke depan mendekati 4 pria tersebut.
"Kami tidak ada urusan denganmu anak sekolah," ucap pria berjas cokelat muda tersebut.
"Oh, tentu ada. Ingin dalam keadaan utuh, maka terimalah ganti rugi kami. Ingin dalam keadaan patah tangan, maka berteriaklah sekencang mungkin. Ingin dalam keadaan patah kaki, maka letupkanlah emosi sekuat mungkin." Chen Mo langsung mengenggam anaknya tersebut, Irene menuliskan apa yang terjadi saat ini dan memberitahukannya kepada suaminya bahwa anaknya tengah bertengkar dengan orang-orang itu.
Chen Mo menggeleng-geleng ke arah anaknya, menyuruhnya untuk menghentikan semua itu. Hampir saja terlambat. Mungkin nyalinya besar, tekadnya kuat nan kokoh, tapi hatinya terlalu baik kepada orang-orang. Benci sekali Chen Leung dengan sifat ayahnya yang seperti itu. Mau sekali dikomplain dengan emosi, tidak pernah hendak melawan balik. Masuklah Chen Leung ke dalam rumah dengan keadaan tangan yang memerah.
Malam harinya tentu terjadi lagi sidang kecil yang perlu dihadapi oleh Chen Leung kepada kedua orang tuanya. Ibunya menghadapi Chen Leung dengan tenang, dia tahu anaknya itu sedang berada di fase remaja, fase di mana sedang ingin melindungi orang-orang terdekatnya, sedang bergejolaknya emosi, tidak stabilnya perasaan yang dirasakan. Namun siapa yang menyangka bahwa Chen Leung itu sangatlah mudah naik pitam, berbeda dengan ayahnya. Mungkin secara fisik mereka mirip, tapi secara sifat mereka berbeda 180 derajat.
"Chen Leung hanya belum mempelajari keadilan di dunia ini, Wen," tulis Irene kepada Chen Mo.
"Leung, masa remaja adalah masa di mana kita sendiri sulit untuk mengendalikan diri sendiri. Mama bisa memahami bagaimana yang kamu rasakan saat ini," tidak perlu lama, dibantah langsung oleh Chen Leung.
"Mengerti apanya? Mama hanya mengatakan itu untuk menyatakan bahwa diriku harus menurut ini-itu. Namun lihatlah, kehormatan keluarga kita telah dihinakan siang tadi! Baba memanglah seorang penjahit, tapi bukan berarti dia pantas dihinakan seperti itu. Kita memang tidak memiliki banyak uang, tapi buakn berarti kita tidak memiliki harga diri!" Nada bicara Chen Leung meninggi, wajahnya murka, air matanya hendak keluar. Chen Mo tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh anaknya itu, tapi dia merasakan bahwa anaknya itu sedang merasa amat kecewa.
Irene sama sekali tidak menyangka bahwa anaknya akan mengatakan hal semacam itu kepadanya, sebuah perkataan yang sangat menusuk ke dalam hatinya.
"Aku tidak malu memliki Baba yang tuli dan bisu, tidak pula malu menjadi anak penjahit baju, yang aku malu adalah kalian tidak melawan saat harga diri kalian tengah diinjak-injak oleh orang banyak!" Bentakkan itu semakin menjadi, membuat Chen Lili yang berada di ruang sebelah khawatir dengan kakaknya.
Tidak ada belas kasih, Irene menampar anaknya. Membuat suaminya dan Chen Leung terkejut, kini emosinya menaik juga, "Kamu kira melawan untuk harga diri hanya perihal kekuatan fisik? Hanya sekadar itu saja? Jauh lebih dari kata itu! Dan masih banyak sekali yang belum kamu pelajari, dan itu harus kamu pahami, Chen Leung!" Melihat istrinya yang muntab, Chen Mo segera memelukki Irene.
Chen Leung sendiri tidak menyangka bahwa ibunya akan menampar wajahnya, dia terdiam melihat wajah ibunya yang sudah merah padam, sehabis meletup amarahnya. Perseteruan tersebut berakhir dengan Irene yang dibawa menjauh oleh Chen Mo agar bisa menenangkan diri, dan Chen Leung yang tubuhnya mematung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moment
General Fiction(MOMEN TANPA SUARA) Chen Leung, di tangannya sebuah kamera mampu menangkap gambar mahakarya. Hidupnya tidaklah mudah dijalani, usah pikirkan. Kesedihan, penderitaan, kesunyian, air mata, dan kegelapan kerap kali datang. Namun, kebahagiaan, kesenanga...