Aku yang baru saja mencomot kue cubit greentea langsung melotot horror begitu menyadari bahwa gubuk jajanan ini justru amat dekat dengan orang-orang yang paling ingin kuhindari hari ini. Ayah, Ibu, Pakdhe Hadi beserta istri. Aku harus segera melarikan diri. Sebelum kejadian yang sama sekali tidak diinginkan terjadi.
Owh! Kenapa kue cubit greentea itu bisa sampai mengalahkan indera kewaspadaanku, sih? Padahal sejak memasuki gedung ini aku kan sudah amat berusaha keras untuk menghindari para tetua. Terutama Ayah dan Ibu. Sejauh ini cukup berhasil. Bahkan setelah sesi foto dengan keluarga pengantin aku selalu berhasil kabur sebelum mereka menyebut namaku. Tapi kenapa baru sekarang?
Aku segera berbalik. Menunduk dan komat-kamit semoga Ayah, Ibu, atau Pakdhe Budhe tak melihat. Pelan dan hati-hati aku melangkah mencoba menelusup dibalik tubuh-tubuh para tamu undangan.
"Kak!"
Kue cubit yang berada di mulut mendadak tertelan begitu saja. Seret ya Allah. Seseret langkah kaki ketika mendengar panggilan sayang ketika di rumah disebut oleh suara yang begitu kukenal. Lembut sekaligus menakutkan untuk saat ini.
"Kayyisa," kali ini suara berat yang membuat kue cubit yang masuk dalam kerongkongan kini serasa kulit durian.
Okay memang lebay. Aku tidak mungkin melarikan diri. Gubuk minuman terletak di dekat mereka. Tentu saja aku tidak mau mati gara-gara kue cubit. Aku butuh minum untuk mendorong kue cubit itu masuk ke lambung. Ini benar-benar susah. Bagai makan buah simalakama. Kalau kabur, aku tak menjamin dapat minuman dengan segera, ini berhubungan dengan keselamatan. Kalau tidak kabur, maka paling tidak aku harus bersiap menerima kenyataan pahit. Lebih pahit dari pil antibiotik.
Baiklah, paling tidak, kenyataan pahit tidak akan membuatku mati karena kue cubit yang macet di kerongkongan.
Aku berbalik, mencoba tersenyum meski mata tertuju pada deretan minuman.
"Sini dulu, Kak," panggil Ibu dengan senyum riang gembira.
Aku tersenyum sambil mengangguk. Dengan langkah cepat aku menuju gubuk minuman dan meneguk satu gelas minuman bersoda. Yaiks. Padahal sudah lama sekali aku tidak minum minuman bersoda, tapi tak apalah. Daripada mati karena kue cubit yang masih nyangkut, lebih baik minum soda untuk mendorong ke lambung.
Aku bernapas lega setelah lolos dari keseret. Sekarang tinggal mikir gimana caranya supaya nggak berlama-lama berada dalam lingkaran obrolan ini.
"Sini deh, Lihat. Budhe Tari baru ngasih brosur paket wedding di hotel. Lumayan murah Kak. Tinggal tambah catering aja." kata Ayah semangat sambil menunjukkan beberapa brosur di tangan beliau, membuatku hanya nyengir canggung.
Nah! Intronya aja udah membahayakan gini. Tahu dong akan ke arah mana obrolan ini? Aku memandang sebal pada kumpulan brosur di tangan Ayah. Ya ampun! Ini mau kondangan apa ngumpulin brosur sih?
"Ah ini juga, paket rias. Bagus juga." Kali ini suara Ibu, "Ini kebayanya cantik, ya, Kak... atau nanti kita beli kain yang kita lihat di toko kain waktu itu aja. Bikin sendiri juga bagus. Nanti jahitin di Bu Rahma." kata ibu lagi sembari membuka-buka brosur dan memperlihatkannya padaku dan melibatkan penjahit langganan keluarga kami.
Aku pengin nimpalin. Bu halunya jangan ketinggian, Bu! Anakmu ini masih jomlo, biasa juga jahit buat seragam kerja.
"Atau kamu mau yang kaya Mbak Shanty dulu? Itu juga bagus lho..." Sahut Pak dhe Hadi, menyebutkan acara resepsi Mbak Shanty, sepupuku alias putri kedua Pakdhe Hadi yang menikah tahun lalu. Ih Mbak Shanty kan nikah pakai adat jawa. Basahan gitu yang cowoknya telanjang dada terus ceweknya pake kemben. Bagaimana ceritanya aku yang pakai jilbab begini disuruh kembenan.
"Kalau yang ini Budhe kurang suka. Agak gimana gitu..." suara Budhe Tari ikut berkicau, mengomentari suasana pernikahan Dara--sepupuku yang lain-- hari ini.
"Tapi kambing gulingnya enak, Budhe," sahutku nggak nyambung. Mau belain keluarga pengantin juga sih. Aku tahu gimana rempongnya mereka untuk menyiapkan pernikahan ini. Aku tahu karena Dara sempat curhat padaku tentang repotnya menyiapkan acara resepsi. Berharap bukan hanya keluarga pengantin yang senang, tapi juga tamu-tamunya. Mereka mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Tapi kok ya tetap ada saja yang mengomentari acaranya kurang ini-itu, padahal bantuin juga enggak.
Tapi menu cateringnya memang enak, dari tadi aku sudah mencoba hampir semua menu, dan tidak ada yang gagal. Kambing gulingnya apalagi. Juarak!
"Iya, kalau cateringnya oke. Tapi riasan sama dekorasinya Budhe kurang suka. Nanti kalau Kay nikah jangan pake WO yang ini ya... nanti budhe tanyain deh, kateringnya aja yang dipakai."
Yaelah, calon juga belum ada udah ngomongin WO aja. Kayaknya aku lebih perlu Jodoh Organizer dibanding Wedding Organizer. Tapi ih amit-amit jangan sampai aku kelihatan kayak ngenes jodoh di hadapan para tetua nih ya... bisa-bisa, itu mas-mas berbatik yang entah anaknya-adeknya-pamannya-embahnya entah siapa itu langsung digeret dan dikenalin ke aku.
Kejadian seperti itu pernah terjadi waktu pernikahan salah satu sepupuku di Jogja. Waktu itu cuma aku dan Ibu yang berangkat, sebab Ayah ada urusan kantor yang tak bisa ditinggal. Di sanalah aku bertemu para tetua yang menanyakan pertanyaan super maut hampir di setiap kondangan terhadap jomlo-jomlo jaya macam aku. Tahu kan pertanyaan mautnya apa?
Kapan nikah? Calonnya mana? Nyusul kapan? Dan lain-lain yang kira-kira setipe dengan pertanyaan itu.
Waktu itu dengan gaya kalem luar biasa, aku mengeluarkan jawaban pamungkas "belum ada jodohnya, doain aja." Dan apa yang terjadi? Bukan Doa yang aku dapat tapi langsung action. Satu persatu dari mereka mulai me-list bahkan langsung menggelandang seorang mas-mas dibawa ke hadapanku.
Sumpah! Kalau Song Joong Ki yang dibawa ke hadapanku saat itu sih aku nggak nolak banget. Duda juga hajar bleeeh. Sebenarnya bukan perkara siapa yang dibawa, tapi tentang semangat keluarga yang terlalu membara. Kayak mau merebut kemerdekaan aja gitu. Makanya aku kapok pok ngomongin masalah jodoh di depan mereka.
"Eh tapi Kayyisa udah punya calon belum, sih?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulut Bude Tari.
Aku menahan napas sesaat. Aku tahu Ibu dan Ayah juga ikut melirikku, menunggu jawabanku.
"Aduh!" aku berkata cepat sebelum Ibu menimpali pertanyaan Budhe.
"Kay, mau ke toilet dulu, ya, Bu...udah kebelet, permisi Budhe...Pakdhe..." kataku sambil bergaya seperti orang kebelet pipis. Aku menyilangkan kakiku biar lebih meyakinkan, dan kupasang wajah kebelet, meski nggak tahu juga sih ini ekspresi kebelet—pura-puraku— udah bener apa belum. Tapi siapa yang peduli, aku hanya butuh segera kabur. Nggak butuh jawaban mereka, aku langsung ngacir. Lama-lama aku jago juga cari alasan buat kabur dari pertanyaan maut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...