Protes langsung kulayangkan pada Esa melalui telepon malam harinya. Aku sudah selesai salat isya, sementara Esa baru tiba di kontrakannya.
"Itu dia, Kay. Tadinya aku mau cerita sama kamu... waktu kita mau cari rumah itu lho. Tapi... malah keburu ada si Sontoloyo Hendra, dan kita langsung fokus cari-cari rumah kan itu. Jadi kelupaan deh."
Aku menghela napas. Benar, hari itu kami benar-benar sibuk. Kami banyak membahas ini dan itu, terutama soal rumah dan lokasi untuk warehouse Esa yang baru. Kami bahkan tidak sempat membicarakan orang lain. Oh, kalau ngomongin drama korea tetep dong ya.
Tapi bahasan soal jodoh saat itu benar-benar tidak masuk dalam obrolan kami hari itu. Esa bahkan tidak mengusik tentang Mas Kanasta sama sekali.
"Ya terus ini sekarang Ayah sama Ibu malah jadi ngarep beneran aku sama Mas Kanasta, Sa..."kataku sambil merebahkan diri. Mataku nyalang menatap langit-langit kamar kos.
Esa tergelak di seberang sana. "Ya bagus doong... tuh kamu udah dapat tiga yes! Dari Aku, Om, sama Tante. Udah dapat golden tiket tuh. Gaskeun lah..."
"Gaskeun... gaskeun!" Aku menggerutu pelan. Aku bangkit dari rebahan dan mengambil posisi duduk, merapatkan punggungku pada tembok sambil memeluk bantal. Sementara earphone masih terhubung pada ponselku.
"Tapi apa yang dibilang Tante Kinasih ada benernya juga, Kay. Mungkin ini saatnya kamu membuka hati untuk orang baru..."
Aku menarik napas panjang. Membuka hati untuk orang baru? Haruskah aku?
Mataku melirik pada dua buah cookies pemberian Mas Kanasta yang masih tersimpan rapi di atas nakas samping kasur.
Membuka hati? Pada Mas Kanasta?
"Ini menurut analisisku ya Kay... menurutku... Tata itu mulai naksir sama kamu deh..."
Aku hampir menyemburkan tawa ketika Esa mengatakan hal itu. Soalnya aku juga sempat ke-GR-an, tapi tentu saja pemikiran itu kubuang jauh-jauh. Apalagi setelah mendengar cerita Esa bahwa Mas Kanasta pernah menolakku.
"Jangan ngasal, Sa..."
"Lho? Siapa yang ngasal? Beneran kok. Tata itu emang biasa ramah sama semua orang, perhatian, ya emang begitu kesehariannya. Tapi sama kamu... nggak tahu, aku ngerasa ada yang beda aja. Aku juga baru sadar pas kita udah selesai makan malam bareng itu sih. Kalau dipikir-pikir lagi, kok dia modus banget pengin ditemenin sama kamu cari kontrakan. Cuma waktu itu aku lagi kesel aja, ngerasa dia mau menghancurkan rencanaku buat cari rumah sama kamu. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi... mungkin itu usahanya buat lebih deket sama kamu."
"Sa... kamu berminat jadi asistennya Lee Woo Jung Writernim, ya?" tanyaku asal, mengingat kemampuan mengarangnya, siapa tahu dia bisa diterima jadi team penulis skenario favorit kami itu.
"Ya... aku pasti jadi nomor satu. Nomor satu yang ditendang." jawab Esa sama ngasalnya.
"Pasti kamu kira aku lagi ngarang atau semacamnya, ya?" tanyanya lagi.
"Ya. Udah cocok jadi penulis platform digital kamu."
"Wah, boleh juga. Tapi maaf aku masih cinta profesiku yang sekarang."
Aku mengubah posisiku lagi. Kali ini mengambil laptop di atas nakas, melewati pemandangan dua cookies yang mengingatkanku pada Mas Kanasta.
"Kay aku serius, lho..." kata Esa melembut. Aku mengambil posisi tengkurap dan membuka laptop yang kini sudah berpindah tempat di atas kasur.
"Waktu kita lagi makan pecel lele itu... kan aku pasang status fotoku sama kamu. Terus Tata gerak cepat gitu begitu lihat statusku. Tanya kita lagi dimana dan langsung nyusul." katanya lagi kembali berteori.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...