Bikin Emosi

206 47 1
                                    

Setelah beberapa hari istirahat di rumah dan sudah merasa lebih baik, aku memutuskan untuk kembali ke Kos. Lagipula, ijin sakitku sudah berakhir sejak jumat lalu. Senin pagi aku dan Kala diantar Ayah, setelah menurunkan Kala di sekolahnya, Ayah lanjut mengantarku sampai kos untuk mengambil laptop dan lanjut diantar ke tempat kerja.

Ayah menurunkanku di depan sekolah. Beliau berpesan untuk menjaga kesehatan dan langsung telepon jika merasa nggak sehat lagi yang aku jawab dengan anggukan kepala. Aku tersenyum, mengingat bertahun silam, ketika Ayah mengantar sekolah Aku, Kisanak, dan Kala bersamaan. Nggak nyangka di usia yang hampir kepala 3 pun aku masih diperlakukan seperti ini, benar ternyata, berapapun usia kita, akan selalu menjadi anak kecil di mata orangtua kita.

Begitu sampai di kantor, rekan-rekan menyapa dan menanyakan kondisiku seperlunya karena bertepatan dengan bel masuk kelas. Saat istirahat, barulah kami benar-benar bisa mengobrol, dan sialnya aku melewatkan satu hal heboh yang melibatkan namaku di dalamnya.

"Bu Kay, ya... diem-diem ternyata udah punya pacar. Ganteng, euy!" Goda Bu Lia.

Ha? Pacar? Siapa? Kok aku nggak tahu kalau aku punya pacar.

"Iya lho.. kemarin kesini bagi-bagi donat, royal banget pacarnya Bu Kay." sahut Bu Indah. Aku masih plonga-plongo tak mengerti. Hal itu disambut dengan godaan-godaan kolegaku yang lain, bahkan bapak-bapak juga ikut bernostalgia cerita zaman mereka masih pacaran dulu. Memang kadang-kadang serandom itu sih obrolan guru-guru di sini.

"Siapa, Bu?" tanyaku polos masih tak mengerti yang dimaksud Bu Lia dan kawan-kawan.

"Hadeehh Bu Kay, masih malu-malu, ya... pantesan nggak nongol blas di grup." Bu Lia kembali menggoda. Grup?

Aku buru-buru mengecek grup kantor. Selama beberapa hari tidak masuk kerja, rupanya ada beberapa momen di sekolah yang aku lewatkan. Grup kantor yang seharusnya diisi info-info terkait pekerjaan, nyatanya selalu tenggelam dengan obrolan-obrolan santai, meme-meme kocak, atau sekadar gossip underground pun beberapa kali aku lewatkan.

Biasanya aku selalu ikutan nimbrung, tapi karena sering ditegur Ibu, akhirnya aku tidak sering-sering buka HP selama sakit. Untuk info-info penting aku memilih langsung tanya pada Bu Salma melalui pesan pribadi, karena beliau dan Pak Roni yang membantuku menghandle kelas selama aku cuti sakit. Aku sudah berazzam kapan-kapan mau traktir mereka makan enak.

Ada ratusan percakapan yang aku lewatkan dalam grup kantor dan ternyata diantara obrolan-obrolan nggak penting itu, beberapa kali mereka mention namaku dalam obrolan yang baru kubuka hari ini. Ada foto tumpukan kardus dari gerai donat terkenal beserta minumannya. Dari percakapan yang kubaca, seluruh staff guru masing-masing dapat 1 lusin donat dan 1 minuman dingin.

Aku menengok ke arah Bu Salma yang sibuk menekuri laptopnya di sebelahku. Bertanya pada Bu Lia akan menambah masalah baru.

"Yang dimaksud Bu Lia siapa sih, Bu?" tanyaku pada Bu Salma. Gadis yang baru berusia 24 tahun itu menoleh cepat. Masalahnya di grup hanya terdapat foto dan ucapan terima kasih padaku. Padahal aku tak merasa mengirim donat itu.

"Lho? Bukannya kenalan Bu Kayyisa?"

Kenalanku? Siapa? Kenalanku banyak, tapi rasanya tidak ada yang sampai harus mnegirim donat pada rekan-rekanku.

"Orangnya kaya gimana?"

"Mm...Tinggi, rambutnya cepak, kulitnya putih, matanya agak sipit, lumayan ganteng, Bu. Ke sini katanya nganterin makanan atas nama Bu Kay." jelas Salma.

Dari ciri-ciri yang disebutkan Salma, otakku langsung tertuju pada Hendra, Astaga!

"Bukan tukang donat yang nganter?" Aku masih denial, masa Hendra sih?

"Bukan kok. Dia juga promosi rumah, Bu. Nih... bagi-bagiin brosur ke sini. Katanya kalau teman kantor Bu Kayyisa dapat diskon khusus. Makanya jadi banyak yang berasumsi itu pacar Bu Kayyisa. Emangnya bukan?" Tanya Bu Salma lagi kemudian memberiku brosur yang dimaksud.

Villa Boenga.

Menawarkan hunian asri, nyaman, dan terjangkau.

Aku membolak-balik brosur itu, membaca sekilas brosur berisi informasi singkat mengenai perumahan baru yang sedang dibangun. Lokasinya dekat dengan sekolah ini. Dari nama PT yang tertera, aku tahu kalau komplek perumahan baru yang sering kulewati ketika pulang itu ternyata di bawah naungan perusahaan keluarga Hendra.

Astaga! Jadi benar Hendra? Terus maksudnya membawa makanan atas namaku ini apa? Mau promosi perumahannya atau mau apa, hah? Bikin emosi aja!

***

"Kay...!" Suara ceria Hendra langsung terdengar nyaring begitu aku keluar ruang guru ketika pulang. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum cerah sekali.

Pak Supri, rekan kerjaku yang berdiri di sebelahnya juga tersenyum sopan kepadaku. Tampaknya mereka serius mengobrol sebelum kehadiranku tadi.

Aku membalas senyum Pak Supri dengan sopan. Sementara Hendra, tentu saja aku cueki.

"Nanti langsung ketemu marketingnya saja ya, Pak. Bilang saja dari SD ini, saya sudah bilang ke tim marketing kok." kata Hendra pada Pak Supri yang bisa kudengar dengan jelas ketika melewati mereka.

Hendra mengejarku sampai keluar gerbang. Para orangtua murid yang menjemput anak-anak mereka menyapaku dengan sopan dan tentu saja dengan pandangan penuh tanya, mengapa ada laki-laki yang mengekor di belakangku. Apalagi penampilan Hendra cukup necis. Kemeja hitam dengan lengan digulung dan celana berwarna khaki pas membalut tubuhnya yang tegap dan tinggi.

Berbeda dengan tatapan kagum dan bisik-bisik para ibu-ibu, aku justru ingin mengumpat, kenapa Hendra muncul lagi, di saat kondisi ramai begini. Belum cukup apa dia membuat seluruh staff kini bertanya-tanya tentang hubungan kami? Memangnya aku harus menjawab apa? Mantan pacar yang sekarang sudah jadi suami orang? Lalu siap-siap disebut pelakor?

"Katanya kamu sakit ya, Kay? Sekarang sudah enakan? Aku pengin jenguk ke rumah orangtuamu. Tapi takut dilaporin hansip lagi sama Pak Kuncoro kaya dulu."

Perkataan Hendra membuatku teringat saat awal-awal kami putus dan dia masih mengemis maaf padaku sampai ke rumah. Tentu saja tindakan Ayah lagi-lagi tidak tertebak. Beliau bukannya marah-marah ala sinetron, tapi langsung panggil hansip dong. Mana hansip dan RTnya semacam BFF (Best Friend Forevernya)nya Ayah di komplek, jadilah Hendra dicekal memasuki area perumahan sejak saat itu.

Aku berhenti mendadak, menatapnya sengit. Hendra yang kaget dengan pergerakan yang tiba-tiba hanya mampu nyengir.

"Kamu mau apa sih sebenernya?" tanyaku lugas. Sejujurnya aku khawatir ia berbuat lebih nekat lagi dari sekadar bagi-bagi donat ke rekan-rekan kerjaku.

"Mau baikan sama kamu, Kay."

Aku menghela napas. Beberapa murid dan para orangtua masih menyapaku yang menunggu angkot. Bicara di sini tidak akan mudah.

"Kita ngobrol di café ujung sana deh." kataku cepat.

Hendra tersenyum girang seperti bocah. Astaga! Padahal umurnya sudah mau 30, tapi kelakuannya...ckckck.

"Naik mobil, kan?" tanyanya memastikan.

"Hm..." jawabku malas.

Dia kemudian menyebrang jalan, menuju mobilnya yang terparkir di depan sebuah toko alat tulis. Dia kembali menoleh ketika sadar aku tak mengikutinya. Hendra menatapku bingung, terlebih ketika sebuah angkot berhenti di depanku dan aku menaikinya.

Angkot kan juga mobil.

***

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang