JODOH IMPIAN

210 54 1
                                    

Tadinya aku tidak mau mengabari Ibu perihal sakitku. Tapi tiba-tiba saja Ibu Video Call, niat awalnya sih mau menanyakan baju-baju usangku yang mau disumbangkan mana saja. Tapi ketika ibu bertanya setelah melihatku pucat tak bertenaga dan hanya berbaring di tempat tidur, mau tak mau aku mengabarkan sakitku.

Meskipun sudah kubilang untuk tidak perlu datang, nyatanya Ibu malah datang bersama Ayah dan Kala, bukan hanya datang, tapi mereka memaksa membawaku pulang untuk dirawat di rumah. Ya ampun... aku kan cuma kena tipes, bukan sekarat. Tapi ya sudah lah, aku menurut saja. Lagipula mana enak sakit sendirian, meskipun sudah tua begini aku tetap mau dimanja kalau lagi sakit.

Sampai di rumah, aku masih melihat poster Ayah masih tertempel rapi di pintu kamarku. Mau pura-pura nggak lihat tapi kok ya segede gaban gitu.

Aku berbaring di kasur dan mengecek ponsel, di grup sekolah, rekan-rekan kerja memberikan doa kesembuhan untukku, serta beberapa pesan pribadi. Setelah membalas beberapa pesan pribadi dan grup, tanganku terarah untuk scrolling Instagram. Gini nih kalau gabut, bawaannya pengin main sosmed melulu.

"Kak, ih lagi sakit kok malah main HP sih, nanti tambah demam lho." komentar Ibu ketika masuk ke dalam kamar dan mendapatiku sedang memegang ponsel. Tapi dimana korelasinya main HP dan demam, ya?

"Balesin chat, Bu." jawabku tak berniat mempertanyakan maksud kalimat Ibu. Kuletakkan HP di nakas.

"Kan bisa nanti-nanti balasnya. Atau jangan-jangan dari orang special, ya?" mata Ibu berubah berbinar, lupa kalau beberapa detik yang lalu Ibu masih terlihat khawatir. Ibu sih nggak kenal waktu dan tempat kalau bahas masalah jodoh, ya.

"Martabak kali ah, special." jawabku asal. Saat mengalihkan pandanganku dari Ibu, mataku malah tertuju pada pintu yang dibiarkan ibu terbuka lebar.

"Bu, posternya kenapa nggak dicopot aja, sih?" protesku.

Ibu ikut mengalihkan pandangannya, "Dilarang Ayah lah. Baru boleh copot kalau kakak udah dapat calon. Inget poster dari Ayah tuh, Kak. Sakit nggak dapat dispensasi, ya."

Aku menghela napas. Jadi keinget obrolanku sama Esa kan kalau begini.

"Emang Ayah udah punya calon buat Kakak?" tanyaku memancing, Ibu menanggapinya dengan mata berbinar-binar.

"Kakak mau kalau dijodohin? Kemarin temen  arisan Ibu ada yang nawarin keponakan adik iparnya. Kalau Kakak mau nanti Ibu bilangin, ya." kata Ibu bersemangat. Sejak dulu, Ibu memang selalu menyodornya entah anaknya, adiknya, tetangganya, keponakan, atau siapalah siapalah, yang selalu kutolak mentah-mentah dengan alasan belum siap.

Berdasarkan jawaban Ibu, aku sangsi Ayah sebenarnya sudah punya calon untukku seperti dugaan Esa. Tapi... tentu saja aku nggak boleh meremehkan seorang Kuncoro Hadikusumo. Beliau pasti punya seribu satu cara trik untuk menemukan calon menantu dalam waktu singkat, jika aku tak berhasil memenuhi peringatannya.

"Ganteng nggak, Bu?" tanyaku iseng.

Ibu melengos, "yang penting bertanggung jawab atuh, Kak. Ganteng mah nomor sekian."

Iih... meragukan.

Aku kembali mengambil ponsel dan mengobrak-abrik galeri fotoku.

"Lebih penting lagi yang sholeh, iya, kan, Bu?"

"Nah betul itu. Minimal nggak ninggalin sholat dan bisa baca al quran. Kalau yang kayak begini banyak nih, Kak. Ibu sudah punya list nama dan nomor HPnya." Ibu bersemangat lagi. Ya ampun, Bu! Aku masih takjub dengan semua usaha Ibu untuk mencarikan aku jodoh.

Aku mengangguk-angguk, "Kalau bisa yang penghasilannya di atas Kay, kalau di bawah juga nggak apa-apa. Yang penting mau kerja. Terus bisa bantu-bantu kerjaan di rumah juga. Sayang sama anak kecil, dan patuh sama orangtua." lanjutku masih ngubek-ngubek isi galeri.

"Oh iya, iya. Gampang itu, nanti bisa dibicarakan lebih lanjut."

Meski tak melihat, tapi aku bisa mendengar Ibu bersemangat dan senang dari suaranya. Jarang-jarang aku menanggapi kalau obrolannya sudah menyangkut kriteria begini. Ibu pasti merasa ini sebuah kemajuan yang positif.

"Kalau bisa yang mukanya begini, Bu."

Aku menunjukkan foto Song Joong Ki pada Ibu.

Ibu menatapku tak percaya, pasti syok lihat anaknya yang kadar kecantikannya bahkan nggak masuk 10 besar se-RW bisa-bisanya ngehalu punya suami bening kaya Song Jong Ki.

"Atau enggak yang kaya gini juga boleh, Bu."

Kali ini aku menunjukkan foto Won Bin.

Ibu makin menatapku Iba, Putus asa, sekaligus penuh kekhawatiran.

"Yaudah... yang ini deh."

Foto Oh Sehun.

Kali ini Ibu langsung beranjak dan meninggalkan kamarku dengan tampang yang susah kudeskripsikan.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang