Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan galau karena seorang laki-laki. Hal ini membuatku menertawai diri sendiri.
Duh, Kay... nggak zaman banget galauin cowok! ejekku pada diri sendiri.
Setelah beberapa saat termenung usai menutup obrolanku dengan Esa, aku beranjak dari posisiku kemudian berjongkok di depan nakas. Di depanku ada dua cookies karakter Doraemon pemberian Mas Kanasta beberapa saat lalu.
Aku mengambil salah satunya dan menatapnya dengan seksama. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari cookies ini. Sama seperti cookies-cookies karakter yang lain. Hanya saja... karena ini pemberian Mas Kanasta, aku jadi ingin menyimpannya... entah untuk alasan apa.
Aku tahu kamu udah lama banget nggak deket sama cowok manapun. Bisa kubilang Tata itu cowok pertama yang kulihat bisa kamu aja ngobrol secara santai.
Kalimat Esa kembali terngiang dan sosok Mas Kanasta tiba-tiba saja hadir di benakku tanpa kuminta.
Sampai kapan kamu mau menutup diri dari laki-laki? Kamu perlu menikah, Kak.
Kali ini suara Ibu yang menggema di kepalaku.
Aku menghela napas panjang dan kembali meletakkan cookies itu di tempatnya. Aku sedang tidak ingin berpikir yang berat-berat. Maka kuputuskan untuk mengakhiri pergulatan batinku sejak tadi.
Kita lihat saja nanti bagaimana.
***
Sudah beberapa hari sejak obrolanku dengan Esa berlalu. Aku kembali pada aktivitasku, belajar-mengajar. Kesibukanku bertambah karena sudah memasuki musim UAS. Saat pulang ke rumah sabtu-minggu, Ibu sudah antusias sekali ingin mendengar kabar hubunganku dengan Mas Kanasta, sayangnya selama beberapa hari ini aku pun tidak bertemu dengannya. Tentu saja, bagaimana mungkin kami bertemu, kami bekerja di tempat dan lingkungan yang berbeda. Kecil sekali kemungkinan untuk bertemu kecuali salah satu dari kami sengaja untuk menemui.
"Nggak sms-an juga?" tanya Ibu. Aku menipiskan bibir. Yaelah Ibu masih zaman aja SMSan.
"SMS Kakak dari operator sama pinjol doang tuh, Bu." jawabku.
Ayah yang duduk di sebelahku sambil ngopi tak berkomentar apapun.
"Lagian Kakak nggak punya nomornya, Bu..." lanjutku lagi.
"Kok bisa nggak punya nomornya?" tanya Ibu bingung.
"Lha emang nggak punya, Bu. Kan Kakak udah pernah bilang, kami nggak sedekat itu."
"Ya... makanya sms-an biar dekat. Telepon-teleponan kek. Atau surat-suratan biar romantis."
Aku terkikik geli mendengar saran dari Ibu.
"Udah ah, Kakak mau ke kamar dulu. Mau istirahat ya, Bu." pamitku kemudian beranjak meninggalkan keduanya di ruang tamu.
Aku masuk ke dalam kamar tepat saat ponselku bergetar, ada sebuah pesan. Gegas aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas Meja riasku.
Notifikasi whatsapp dari Ayah. Ih iseng banget, serumah ini.
Tanpa berpikir lagi aku langsung membuka, dan ternyata Ayah mengirimkan kontak Mas Kanasta, lengkap dengan caption di bawahnya.
Whatsapp aja. Kalau SMS nanti dikira dari pinjaman online.
Seketika aku langsung ngakak. Ayaah... please deh!
***
Tentu saja aku tidak langsung menjalankan saran dari Ibu meski kini sudah ada namanya di dalam kontak ponselku. Gini-gini gengsiku masih tinggi. Aku membiarkannya semua berlalu begitu saja. UAS dan pengisian rapor membuat kesibukanku bertambah, meski jujur saja... tidak pernah kulalui hari tanpa memikirkan Mas Kanasta meski hanya sekelebat. Tapi aku tak mengambil langkah apapun, kecuali menyebutkan namanya dalam doa-doaku. Jika kami berjodoh semoga didekatkan dan dimudahkan. Jika tidak... semoga Allah melapangkan hatiku, hati orangtuaku, dan memberiku jodoh yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...