Ditinggal Nikah

228 64 5
                                    

"Yaa... namanya juga rumah tangga... pasti banyak ujiannya. Kalau banyak wijen namanya onde-onde." Begitu kelakar Bu Indah disambut tawa dari beberapa guru lain yang bersiap pulang, termasuk aku.

"Kalau saya sih yang penting nggak selingkuh dan KDRT. Udahlah...ya... tapi kalau sampai ngelakuin satu atau dua-duanya. Hm... nggak ada ampun. Bhay aja!" sahut Bu Lia membuat gerakanku terhenti sesaat.

Kurasa tidak ada yang menyadari bahwa gerakanku melambat dan hatiku terasa tersengat. Sudah beberapa hari sejak kedatangan Mas Kanasta ke rumah dan pengakuannya. Sampai sekarang kami tidak berkomunikasi ataupun bertemu lagi, aku juga belum memberinya jawaban. Aku masih saja gamang.

Dari jurnal yang pernah kubaca, gen juga berpengaruh dalam perilaku kekerasan. Meski ada banyak faktor lain yang menyertai. Ada yang menyebut peran gen hanya 1%, ada yang bilang berpengaruh saat pengasuhan masa kecil, ada juga yang bilang bibit kekerasan sudah terlihat sejak remaja, dan banyak lagi penelitian menyebutkan hal serupa.

Aku berniat menanyakan lebih lanjut tentang Mas Kanasta pada Esa, mengingat mereka teman sejak kecil. Namun aku juga belum ada kesempatan bertemu dengan Esa dan mengobrol secara serius lagi.

Ternyata begini ya kehidupan orang dewasa. Bangun, kerja, capek, rebahan. Sampai nggak ada waktu buat nongkrong sama temen sendiri, huhu.

Getaran ponsel memecahkan lamunanku. Dari Hendra....

"Assalamu'alaikum, Iya, Ndra?"

"Wa'alaikumsalam. Kamu lagi dimana Kay? Lagi sama Esa?" suara Hendra di seberang sana.

"Enggak. Masih di Sekolah mau pulang nih. Kamu ada perlu sama Esa?"

"Ada yang mau aku sampaikan tentang Ryan."

Oh iya, Ryan... aku kan mau bantuin Esa melalui Hendra.

"Iya, gimana? Eh bentar, ya..."

Aku sudah selesai merapikan meja dan tasku. Aku berpamitan dengan rekan-rekan dengan cepat dan segera melangkah keluar.

"Gimana, Ndra?" tanyaku setelah keluar dari ruang guru menuju parkiran motor.

"Kay... Ryan...  gimana ya aku ngomongnya." kata Hendra di seberang sana terdengar ragu.

"Apaan sih? Ngomong aja kali..."

"Aku baru aja terima undangan..."

"Undangan? Undangan apa?"

"Ryan mau nikah akhir bulan ini."

Langkahku terhenti seketika.

"Ryan yang..." kalimatku menggantung. Tak percaya. Bentar... bukan Ryan yang itu, kan? Temennya Hendra yang bernama Ryan kan banyak.

"Ryan kontraktor yang ditaksir Esa."

Aku kehilangan kata-kata.

"Aku juga baru dapat undangannya hari ini. Dititipin ke karyawanku, jadi aku belum sempat ngobrol sama dia." Jelas Hendra.

"Ndra... serius?" aku masih menolak percaya. Duh Esa...

"Serius lah. Ngapain aku bercanda urusan begini. Nanti aku kirimi foto undangannya deh biar kamu percaya."

Aku menggigiti bibir bawahku. Cemas.

"Duh, Ndra... gimana dong ini aku ngomongnya sama Esa?"

"Ya... gimana lagi, Kay... ngomong apa adanya aja." Saran Hendra benar-benar tidak membantu, meski apa yang dikatakannya itu benar. Apalagi pilihanku selain memberitahu Esa kebenarannya.

"Ck. Yaudah, thanks ya, Ndra... infonya."

"Sama-sama."

Aku memutuskan sambungan telepon dengan Hendra. Kemudian mengendarai motorku menuju warehouse Esa.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang