Kecelakaan

222 62 12
                                    

Saung Ayu memang terletak di pinggir jalan raya utama. Jalanan yang luas dan seringkali lengang membuat beberapa pengemudi yang tidak bertanggung jawab mengebut. Saat itu Dina sedang emosi ketika menerima telepon dari seseorang dan berjalan menuju jalan raya. Lalu tiba-tiba sebuah mobil dari arah lain menabraknya.

Tabrakan tragis itu membuat Dina langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Wanita itu terluka parah. Karena hanya aku yang mengenal Dina di lokasi kejadian, aku ikut bersama petugas membawanya ke rumah sakit.

Bu Salma dan Pak Roni kularang untuk ikut, tak ingin merepotkan. Hanya Esa yang datang bersamaan dengan mobil ambulance akhirnya mengikutiku ke rumah sakit. Pelaku penabrakan langsung diamankan warga untuk dilaporkan ke polisi.

Sementara Dina mendapat penanganan, aku dan Esa mengurus administrasi serta berbicara dengan polisi yang menemui kami di rumah sakit untuk meminta keterangan, sekilas yang kutahu dari petugas, pelaku yang menabrak Dina sudah diamankan di kantor polisi, rupanya pelaku mengemudi dalam keadaan mabuk.

Esa yang memiliki nomor Hendra langsung menghubungi lelaki itu. Hendra mengatakan akan mengirim seseorang dan dia sendiri akan segera menyusul ke rumah sakit.

"Aku nggak tahu lho harus kasian apa marah setelah denger ceritamu." Komentar Esa ketika kami berada di ruang tunggu dekat IGD.

Aku memandang ke arah Esa yang kini tengah memandangku dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.

Aku tersenyum geli sendiri saat menyadari sesuatu. Sejak tadi kami bekerjasama demi mengurus penanganan Dina, menghubungi Hendra, bertemu dengan polisi, hingga aku baru sadar bahwa ada yang berbeda dengan Esa hari ini.

"Jadi ini yang kamu bilang kejutan?" kataku setelah memperhatikan penampilan baru Esa. Gadis itu kini sedang memakai blouse lengan panjang, celana jins, dan pashmina yang menutupi kepalanya.

Esa berhijab.

"Aku lebih terkejut dateng-dateng liat orang kecelakaan!" jawabnya kemudian duduk di sebelahku.

"Tambah cantik deh." Pujiku tulus.

Esa tersenyum kecil, kemudian kembali mengubah ekspresinya.

"Thanks."

Aku bersyukur dalam hati. Akhirnya Esa tergugah juga untuk mengenakan hijab, salah satu kewajiban muslimah yang baru bisa ia tunaikan sekarang.

Salah seorang perawat kemudian mendekati kami dan mengatakan bahwa Dina perlu operasi segera. Persetujuan dilakukan melalui telepon dengan Hendra karena lelaki itu masih belum tiba. Kami diminta menuju PMI untuk mencari kantung darah, karena persediaan kantung darah yang sesuai dengan golongan darah Dina sedang habis di rumah sakit.

Ketika perawat memberitahu golongan darah yang diperlukan, aku mengajukan diri untuk menjadi pendonor, karena aku memiliki golongan darah dan rhesus yang sama dengan Dina.

Maka setelah melakukan beberapa pemeriksaan padaku, pihak rumah sakit segera mengambil darahku untuk keperluan operasi Dina.

"Istirahat dulu ya, Bu. Kalau ada keluhan segera hubungi kami." Kata perawat setelah selesai mengambil darahku. Aku dibiarkan beristirahat di salah satu bed di ruang UGD.

Rasanya lemas sekali, mungkin karena aku tadi belum sempat makan siang, untungnya aku masih memenuhi syarat untuk menjadi pendonor, jadi kami tidak perlu jauh-jauh ke PMI.

Esa mengangsurkan sekotak susu UHT padaku.

"Habis jambak-jambakan terus donor-donoran ini?" kata Esa mengingatkanku pada kejadian beberapa jam yang lalu.

Aku tertawa geli, jadi malu kalau inget pertengkaran bar-bar kami tadi. Kuminum susu pemberian Esa.

"Kalau urusannya nyawa beda sih, Sa..."

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang