Bangunan bertema Industrial modern ini berdiri gagah di hadapanku. Suasananya tak terlalu ramai. Entah memang biasanya tak ramai atau karena masih sabtu siang. Aku datang 10 menit lebih awal ke OLA dari waktu yang kami tentukan. Katanya Mas Kanasta sudah reservasi tempat di sini, ketika menyebutkan namanya pada salah satu staff yang menyambut kedatangan para tamu, aku dibawa ke salah satu meja di lantai dua.
Jika di lantai satu pengunjung tak terlalu banyak, maka di lantai dua pengunjungnya sedikit sekali. Hanya tiga meja yang terisi termasuk aku. Itupun lokasi kami cukup berjauhan.
Aku memesan ice lychee tea sembari menunggu, kukirimkan pesan pada Mas Kanasta bahwa aku sudah tiba dan memintanya untuk santai saja tak perlu buru-buru. Balasannya cepat dan mengejutkan, karena ternyata ia sudah tiba di OLA dan akan segera menuju ke lantai dua.
Membaca balasan seperti itu, mau tak mau aku jadi mengawasi area tangga dengan jantung berdebar-debar. Tak sampai satu menit pria itu muncul. Aku mengalihkan pandangan ketika sosoknya mulai terlihat di langkan.
"Assalamu'alaikum." Sapanya setelah mendekati meja.
"Wa'alaikumsalam." jawabku singkat, kemudian kembali melihat ke arahnya.
Mas Kanasta tersenyum dan duduk berseberangan denganku. Hari ini ia memakai celana berwarna cokelat, dengan kaus berwarna gelap sebagai dalaman, dan kemeja berwarna emerald sebagai luaran, membuatnya tampak fresh dan makin tampan. Apalagi kalau tersenyum.
Kami berbasa-basi sejenak sambil menikmati hidangan yang disajikan. membahas hal-hal ringan seperti rasa menu yang kami nikmati hari ini. Perbedaan rasa masakan kalau dimasak pakai minyak sawit atau minyak zaitun, juga hal-hal remeh lainnya. Selama itu aku menunggu Mas Kanasta membuka mulut untuk membahas masalah penting yang ia singgung ketika minta bertemu. Tapi aku yakin kalau perbedaan minyak goreng dan minyak zaitun, atau perdebatan antara micin bikin bodoh atau enggak, tidak termasuk dalam masalah penting yang ia maksud. Hey... kita nggak lagi bahas soal MPASI (Makanan pendamping Air Susu Ibu) lhooo.
"Mau pesan dessert?" tawarnya setelah makanan kami tinggal satu atau dua suap.
Aku menggeleng dan mengucapkan terima kasih atas tawarannya. Aku sudah cukup kenyang, dan lagipula tujuanku ke sini bukan hanya untuk makan siang.
"Sesuatu yang penting yang Mas maksud kemarin itu bukan hanya sekadar kulineran di sini, kan, Mas?" tanyaku pada akhirnya.
Mas Kanasta tertawa kecil, kemudian membersihkan mulutnya dengan tissue dan kembali menatapku lurus.
"Memangnya makan siang denganmu bukan sesuatu yang penting?"
"Tidak cukup penting mengingat kita nggak sedekat itu." jawabku lugas.
Kalau aku tidak salah tangkap, tatapan Mas Kanasta berubah menjadi lebih sendu.
"Tapi aku selalu ingin lebih dekat denganmu, Kay." Mas Kanasta berkata dengan lirih.
Seharusnya aku senang dengan ucapan berpotensi rayuan tapi diucapkan dengan nada serius dan mata sendu itu. Tapi aku malah ingin mempertahankan diri.
"Aku tidak pernah merasa seperti itu. Maksudku... aku tidak pernah merasa Mas Kanasta ingin dekat atau lebih dekat denganku. Entah Mas yang memang tidak melakukan apapun atau aku yang tidak peka?" ucapku berusaha tenang. Mataku menatapnya lurus. Meski setengah berbohong--karena pada kenyataannya akupun sempat GR dan menduga ia menaksirku-- tapi aku ingin mendengar kepastian darinya, masa iya orang yang katanya 'ingin lebih dekat' nggak pernah menghubungi lewat telepon meski sudah punya nomornya. Terlebih Mas Kanasta juga bilang pada Esa bahwa ia hanya ingin berteman denganku Teman yang seperti apa dulu, nih? Teman sehidup sesurga apa gimana?
![](https://img.wattpad.com/cover/320919877-288-k260245.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...