Selesai

453 76 26
                                    

"Aku punya syarat..." kataku sebelum memulai semua.

Mas Kanasta mengangguk, meminta untuk melanjutkan kalimatku.

"Aku tidak bisa menolerir kekerasan. Jadi ketika terjadi kekerasan di luar syariat yang ditentukan. Aku akan menyerah."

Mas Kanasta menarik napas dan mengembuskannya perlahan, "aku mengerti."

"Aku juga mau belajar bela diri."

Mata Mas Kanasta membulat, mungkin tak menyangka dengan ideku.

"Buat jaga-jaga. Ehem! Mas jangan tersinggung dulu. Aku merencanakan itu semua bukan karena aku percaya apa yang dikatakan Ayah tiri Mas Kanasta. Seharusnya Mas Kanasta juga nggak perlu percaya dengan kata-katanya. Mempercayainya hanya akan membuat Mas berpikir terus ke arah sana. Padahal belum tentu, kan? Aku tahu Mas orang baik dan tidak akan menyakiti siapapun, termasuk aku."

Pria itu menunduk sejenak, "In syaa Allah. Semoga Allah jaga kita." Katanya mantap.

"Jadi?" tanyanya kemudian.

"Jadi?" aku balik bertanya.

"Jadi apa?"

"Apanya yang jadi?"

"Jawabanmu, Kay..."

Kini giliran aku yang menganga. Bukannya sudah jelas?

"Bukannya aku sudah jawab?" cicitku menahan malu. Duh, memangnya kurang gamblang, ya?

Mas Kanasta menggeleng, "Kamu hanya menjabarkan rencana dan syaratmu. Bukan menjawab lamaranku."

"Ya... itu tadi jawabannya, Mas."

"Apa? Mana?"

"Yang aku omongin dari tadi itu inti jawabanku."

"Iya. Tapi inti jawabanmu apa?"

Aku memberengut sebal, nggak tahu apa kalau itu adalah usaha terbaikku untuk menahan rasa malu dan gengsi yang datang bersamaan.

Melihatku cemberut, Mas Kanasta akhirnya tertawa. Huh! Dia mengerjaiku, ya?

Lelaki itu menyelesaikan tawanya sebelum berdeham dan menatapku lurus.

"Jadi... Kayyisa Danatri... kamu mau menerima lamaranku? Menikah denganku dan menjadi Ibu dari anak-anakku kelak?"

Ditanya begitu, jantungku jumpalitan nggak tentu. Semoga saja nggak perlu sampai periksa EKG.

Sambil menahan malu, aku mengangguk. Tanpa berani menatapnya, aku melarikan pandanganku ke samping sembari mengipasi wajahku yang mendadak terasa panas.

"Alhamdulillah... jadi pengin peluk." Katanya membuatku kembali menoleh dan melotot ke arahnya.

"Hehe, belum boleh, ya? Yaudah aku peluk meja dulu, deh."

Hahaha. Mau tak mau aku tertawa.

***

Aku sudah mengambil keputusan untuk menikahi seorang Kanasta Aldari. Bukan hanya karena aku sudah kepepet butuh nikah di usia segini atau hanya karena aku menyukainya. Lebih dari itu, aku meminta pada Allah untuk memberiku jodoh yang baik dengan cara yang baik, dengan harapan Allah juga memberikan banyak kebaikan setelah kami bersatu dalam ikatan pernikahan. Kurasa ini adalah jawabannya.

Aku sudah berusaha mencari tahu tentang siapa Mas Kanasta, bahkan secara tak terduga ia malah mau memberitahuku tentang masa lalunya yang ternyata penuh luka. Selanjutnya, yang bisa aku lakukan adalah berusaha untuk menjadi pakaian baginya, menutup seluruh aibnya. Selama pernikahan kami tetap dalam koridor yang seharusnya, aku akan berusaha mempertahankannya.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang