Dua minggu terasa sangat singkat. Tahu-tahu kini aku sudah harus kembali ke kos dan kembali beraktivitas. Belum sepenuhnya beraktivitas sih. Hari pertama masuk sekolah kami para staff malah banyak ngobrol daripada kerjanya, hehehe jangan ditiru, ya.
"Gimana, Bu? Mau nggak? Kenalan aja dulu..." Kata Bu Lia berusaha membujukku untuk berkenalan dengan keponakan suaminya yang pegawai bank di kota. Sebenarnya beliau sudah melancarkan serangannya sejak aku masih di rumah. Tapi aku tidak terlalu menanggapi. Nggak kusangka ternyata beliau masih bersemangat. Urusan jodoh kini bukan hanya menyangkut orangtuaku, ya... bahkan rekan kerja juga ikutan repot.
Aku meringis menanggapi rayuan maut Bu Lia. Padahal dulu beliau yang paling ngotot berpendapat bahwa Hendra—lelaki yang bagi-bagi donat di kantor dulu adalah pacarku. Setelah tahu kebenarannya, kini beliau bersemangat sekali menjodohkanku dengan keponakan suaminya.
"Bu... tapi saya agak gimana gitu sama yang lebih muda..." kilahku, setengah berbohong sih, sebenarnya nggak ada masalah sama usia. Kalau yang datang Cha Eun Woo versi muslim misalnya, auto nggak nolak lah.
"Ah nggak apa-apa. Usia itu cuma angka. Jangan kebanyakan nampik, Bu. Inget usia." bisik Bu Lia dengan nada julidnya. Yaelah ujung-ujungnya... memang kalau sudah usia segini nggak berhak milih-milih gitu?
Tapi aku juga enggan berdebat, yang ada nanti aku malah jadi bahan gosipan. Untungnya ponselku berdering di saat yang tepat. Panggilan dari Esa.
Alhamdulillah..
Habis ini kutraktir kamu, Sa...
Aku memberi tanda bahwa harus mengangkat teleponku pada Bu Lia sambil nyengir. Bu Lia menipiskan bibirnya, aku kemudian berjalan menjauh dari Bu Lia.
"Alhamdulillah... thank you, Saaaa.... " Kataku sambil bernapas lega.
"Apaan sih?" Esa terdengar bingung di seberang sana.
"Makasih sudah menelepon di saat yang tepat."
"Kenapa emang?"
"Ada lah... kenapa nelepon?"
"Kamu udah mulai masuk hari ini?"tanyanya.
"Iya... Kenapa? Kangen?" godaku.
"Hari ini aku mau ambil sample gamis. Kalau kamu mau, boleh ambil. Gratis. Mau nggak?"
"Beneran nih?" tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa senang dapat barang gratisan. Meski mampu beli, tapi tetap saja dapat barang gratisan tuh membuat jiwa hematku meronta-ronta bahagia.
Apalagi Esa termasuk jarang nawarin barang gratisan begini. Biasanya kalau aku lagi pengin barang dagangan Esa ya aku beli. Teman ya teman, bisnis ya bisnis. Mungkin itu yang bikin pertemanan kami awet sampai sekarang. Prinsip kami sama. Teman seharusnya mendukung bisnis temannya, nggak ada acara harga teman. Tapi kalau dikasih gratisan udah lain soal ya.
"Bener, mau nggak?"
"Mau lah. Eh tunggu! Kamu bikin gamis?" tanyaku memastikan kalau aku nggak salah dengar. Setahuku, olshop Esa nggak fokus ke busana muslim. Lebih ke arah pakaian casual dan kantoran gitu. Malah jarang banget ada produk untuk muslimah, makanya aku juga jarang beli.
"Yoi, baru nih. Sekalian aku ada kejutan buat kamu."
Aku menautkan alis. Mencoba menebak kejutan yang dimaksud Esa.
"Eh tapi kalau ketemu sekarang nggak bisa, Ya. Aku mau makan-makan sama Bu Salma dan Pak Roni." kataku. Dahlah nggak usah dipikirin, kalau udah ketebak, bukan kejutan lagi dong.
"Makan-makan dimana? Kalau gabung boleh? Lagi pengin makan di luar nih. Bosen makan di Mbok Syawal mulu." kata Esa menyebutkan nama pemilik warung makan dekat kontrakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...