Nonton

228 67 10
                                    

Pertemuanku dengan Mas Kanasta siang itu menjadi titik balik dalam hubungan kami selanjutnya, yang kalau kuingat-ingat lagi bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Tahu bahwa ternyata selama ini perasaanku berbalas, tentu saja membuat bahagia.

Meski tak mengerti maksud Mas Kanasta tentang penyesalan, tapi satu kalimat itu aku abaikan begitu saja demi menikmati kebahagiaan yang baru saja kuterima.

Tumpukan pekerjaan di semester baru ini bahkan tak cukup mampu untuk mengurangi kebahagiaan yang kurasakan. Saat rekan kerja yang lain mengeluh, aku yang biasanya ikut meramaikan keluhan kini hanya diam saja, senyum-senyum dan menikmati pekerjaan. Sekarang, saat lagi happy begini, kalau dipikir-pikir buat apa juga mnegeluhkan tumpukan pekerjaan, ya? Nggak lantas membuat beban pekerjaan kita berkurang, yang ada malah mengurangi semangat dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. Tapi kalau lagi nggak happy ya... bawaannya emang pengin ngeluh juga sih.

"Bu Kay sudah jenguk Bu Lia?" pertanyaan mendadak dari Bu Salma membuat fokusku terpecah.

"Bu Lia? Kenapa?" tanyaku bingung. Bukannya minggu lalu masih baik-baik saja habis nyinyirin aku yang nggak mau dikenalin sama keponakannya?

"Masuk rumah sakit. Katanya asam lambung. Rekan-rekan yang lain udah jenguk. Aku ketinggalan. Bu Kay sudah jenguk?"

Astaga! Bagaimana bisa aku ketinggalan info penting seperti ini. Info ini pasti sudah beredar di grup kantor. Aku memang jarang sekali membuka grup kantor, terutama saat week end. Kecuali bila ada pembahasan yang cukup penting atau lagi gabut. Tapi dua hari kemarin aku benar-benar tidak mengintip grup.

"Belum, Bu. Mau jenguk kapan?" tanyaku.

"Hari ini?"

Aku mengangguk setuju.

***

Bu Lia dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah. Kami bisa langsung menemukan kamarnya berdasarkan info dari rekan-rekan lain yang sudah lebih dulu menjenguk beliau.

Lorong menuju kamar Bu Lia lumayan ramai mengingat ini adalah jam besuk. Bu Salma yang berjalan lebih dulu, memberiku kode untuk berhenti ketika berada di depan pintu.

"Lemah banget! Dulu ibu ngurus anak lima nggak pernah masuk rumah sakit." nada nyinyir dan lumayan keras—karena terdengar sampai luar kamar—itu membuatku mengerti maksud Bu Salma menghentikan langkah kami.

Entah suara siapa itu, tapi aku merasa suasana di dalam sedang tidak baik. Aku dan Bu Salma saling berpandangan sejenak. Melalui kontak mata, kami akhirnya sepakat untuk mengetuk pintu meski di dalam sana seseorang masih terdengar marah-marah.

Butuh beberapa waktu hingga pintu dibuka oleh seorang perempuan tua yang kuduga adalah pemilik suara lantang yang kudengar tadi. Beliau tersenyum lebar saat membukakan pintu untuk kami.

Bu Lia menempati ruangan kelas satu. Ada dua bed di ruangan itu, satu terisi oleh Bu Lia dan satu lagi dalam keadaan kosong.

Perempuan tua yang kemudian kuketahui adalah mertua Bu Lia menyambut dan berbasa-basi dengan sangat ramah padaku dan Bu Salma. Sementara Bu Lia yang terbaring di bed pasien hanya menyapa seperlunya dan terlihat masih lemah.

Obrolan kami justru didominasi Ibu mertuanya. Beliau bercerita tentang kronologi bahkan penyebab Bu Lia masuk rumah sakit. Beliau juga bercerita bahwa sebenarnya hari ini ada suami Bu Lia yang menemani, tapi sedang makan siang di kantin rumah sakit.

"Lia kok tidak pernah cerita punya rekan kerja yang masih muda-muda dan cantik, anu... Bu guru... sudah menikah?" Tanya ibu mertua Bu Lia yang belakangan kuketahui bernama Ibu Heni pada kami berdua.

Aku dan Bu Salma berpandangan, teringat bagaimana Bu Lia mencoba menjodohkan kami dengan adik iparnya.

"Bu Kay sudah punya pacar, Bu Salma malah sudah punya calon, Bu... mereka masih muda, cantik, dan mapan, mana mungkin masih jomlo." kata Bu Lia lemah, meski rasanya sedikit menyebalkan—karna pada kenyataannya kami berdua memang masih jomlo—tapi kalimat itu terdengar sebuah pembelaan dan penyelamatan kami dari Bu Heni.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang