Aku memilih untuk membaca buku selagi menunggu Esa menjemput. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Meski begitu kantor guru masih belum benar-benar sepi. Di luar pun masih banyak murid-murid yang berlalu lalang. Esa mengirim pesan untuk menunggu, sebab ia masih belum selesai rapat dengan timnya.
Saat membuka halaman buku, ekor mataku menangkap dua murid memasuki kantor guru. Aku menoleh ke arah pintu, dan benar... ada Sella dan Dini saling dorong-mendorong maju. Keduanya tampak enggan mendekatiku yang kini sudah menatap mereka.
"Sella... Dini... belum pulang?" aku menutup buku dan memerhatikan mereka. Duo sahabat itu anak kelas tiga.
Dini nyengir lucu, memperlihatkan deretan giginya. Sementara Sella juga ikut nyengir tapi lebih terlihat terpaksa, serasa ada beban berat di pundaknya selain tas punggungnya tentu saja.
"Anu... Bu..." Dini bercicit setelah berada di depanku.
"Sepeda Sella hilang." lanjut Dini, sementara Sella tertunduk di belakang Dini.
"HA?" responku yang berlebihan menganggetkan kedua bocah itu.
"Betul, Sel?" tanyaku memastikan.
Sella menggaruk bagian tengkuknya kemudian mengangguk.
"Ditaruh dimana memangnya?" tanyaku kemudian beranjak dari kursi dan menyambar ponselku. Bukan apa-apa, urusan barang hilang di sekolah memang salah satu hal yang membuatku panik. Meski kadang-kadang penyebabnya karena si empunya lupa.
"Di tempat sepeda, Bu." cicit Sella.
"Sudah tanya Pak Basuki?" Aku memberi isyarat pada Dini dan Sella untuk keluar ruangan, membantu mencari sepeda Sella.
Mereka menggeleng bersamaan.
"Yasudah ayo ikut Ibu."
Aku bergerak mencari Pak Basuki, Otakku sudah berselancar, memikirkan alur yang akan kulakukan untuk mencari sepeda Sella lalu bila sepeda itu benar-benar hilang. Semua sudah tertata di dalam otakku, sementara mataku awas mencari sosok Pak Basuki juga mengawasi dua gadis cilik itu.
"Sella yakin taruh di tempat sepeda?" tanyaku lagi memastikan. Aku sudah melihat Pak Basuki. Sedang menyapu di dekat lapangan.
"Ng... i..iya, Bu. Kayanya iya. Biasanya iya, Bu." Jawab Sella terbata setelah sejenak berpikir. Aku bisa maklum sih, anak-anak memang suka gitu.
Pak Basuki berlari kecil mendekati kami setelah aku memberi isyarat yang ditangkap dengan mudah.
"Sepedanya warna apa, Sella?" tanyaku setelah Pak Basuki mendekat.
"Pink, Bu. Keranjangnya warna merah." kali ini suara Dini membantu sahabatnya.
"Pak, lihat sepedanya Sella, nggak? Warnanya Pink keranjang merah." Aku meneruskan info yang kudapat pada Pak Basuki, meski aku tahu sih Pak Basuki juga dengar.
"Di tempat sepeda nggak ada?" tanya Pak Basuki datar pada Sella dan Dini. Kedua bocah itu saling melirik kemudian menggeleng takut-takut. Bukan rahasia lagi kalau wajah seram Pak Basuki memang ditakuti anak-anak di sekolah ini.
"Bantu cari ya, Pak." pintaku sambil memasnag wajah memelas.
Pak Basuki mengangguk tanpa banyak kata. Sampai sepuluh menit pertama kami berusaha mencari sepeda Sella di lingkungan sekolah, memangnya ada yang bisa ngumpetin sepeda segede itu apa. Beberapa kali aku meminta Sella untuk mencoba mengingat-ingat dimana ia meletakkan sepedanya. Aku bahkan menawarkan untuk menelepon Mamanya. Tapi bocah itu menolak. Takut dimarahi katanya.
Ponsel di sakuku bergetar, panggilan dari Esa.
"Kay, aku udah On The Way, ya." katanya.
"Aku lagi bantu cari sepeda bocah nih." jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
Lãng mạnKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...