Meliburkan Hati

197 64 14
                                    

Menjadi guru sebenarnya bukan cita-citaku dari kecil. Hanya karena aku nggak tahu mau jadi apa dan PNS tetap menjadi profesi yang sangat terhormat di kalangan rakyat jelata seperti kami. Jadi rasanya garis hidupku sudah diarahkan keluarga sejak kecil. Guru menjadi salah satu pekerjaan yang diimpikan banyak wanita. Apalagi guru SD. Zamanku dulu, SD berangkat dari jam tujuh pagi sampai dua belas siang. Liburnya bisa sampai sebulan. Begitu juga gurunya. Murid pulang guru ikutan pulang, murid libur guru ikutan libur. Jadi mereka punya banyak waktu untuk keluarga. Gaji yang stabil dan pensiunan terjamin. Kurang enak apa coba? Paling tidak, begitu pandanganku dan juga keluargaku tentang guru SD.

Seiring berjalannya waktu, perubahan zaman, juga tentunya setelah aku terjun langsung ke lapangan, nyatanya menjadi guru SD tak semudah itu, Marimar! Pekerjaan dan tanggungjawabnya ternyata banyak banget. Murid pulang guru ikutan pulang, murid libur guru ikutan libur ternyata hanya fatamorgana. Meski begitu, sisi menyenangkannya juga banyak sih. Well, makin dewasa aku jadi tahu bahwa semua pekerjaan pasti ada suka dukanya. Nggak mungkin sukaaa terus, apalagi duka terus. Enggaklah. Semua udah ada porsinya, tinggal gimana kita nikmatinya aja.

Masa liburan kaya gini misalnya. Terima kasih pada pemda tempatku mengajar, karena telah mengeluarkan peraturan daerah yang menyebutkan bahwa guru bisa ikutan libur ketika siswa-siswa juga libur sekolah. Percis seperti yang kubayangkan ketika masih sekolah dulu. Pasalnya di daerah lain, teman-teman yang juga bekerja sebagai guru sepertiku tidak mendapat jatah libur full selama liburan semester. Mereka tetap harus berangkat ke sekolah dan menyelesaikan administrasi kelas. Ada yang harus berangkat setiap hari, ada juga yang menggunakan sistem piket, hanya 2 atau 3 kali dalam seminggu Tapi tetap saja itu tidak bisa mengalahkan nikmat dari dua minggu full libur. Meski untuk mendapat kemewahan itu, sebelum memasuki liburan kami harus bekerja keras untuk menyelesaikan administrasi kelas yang subhanallah... banyak banget lah pokoknya kalian nggak sanggup. Biar guru kelas aja.

Setelah liburan singkat dengan Esa, aku pulang ke rumah Ayah dan Ibu. Pokoknya liburan ini aku mau males-malesan aja di rumah. Sekalian meliburkan hati yang habis dipatahkan lagi. Tapi... tidak dengan Ibu dong, sejak hari pertama aku di rumah, Ibu sudah sangat antusias. Gelagat beliau yang ingin menginterogasiku soal hubunganku dengan Mas Kanasta terlihat sangat jelas.

"Bu... Kakak tahu Ibu mau nanyain soal apa... " kataku ketika membantu Ibu menyiangi sayuran dan Ibu yang sedari tadi ngalor ngidul ngobrol untuk memancingku.

"Apa ya, Kak?" tanya Ibu pura-pura polos. Ah, nggak mempan. Jadi anak perempuan Ibu Kinasih selama hampir 30 tahun sih aku sudah hapal.

"Mas Kanasta, kan?" Tebakku yang pastinya tepat sasaran.

Ibu yang sedang mencuci piring langsung menghentikan aktivitasnya dan mendekatiku di meja makan.

"Emangnya boleh?"

"Boleh..." jawabku santai.

"Alhamdulillah." Ibu terlihat senang, aku tertawa kecil. Ibu pasti udah nahan-nahan banget untuk nggak menginterogasiku, karena sejak tiba di rumah, aku udah bilang kalau aku mau istirahat dulu. Ibu terlihat antara khawatir mengganggu tapi juga penasaran.

"Jadi gimana, Kak? Lancar? Udah nentuin tanggal lamaran? Mau pesen kebaya sekarang? Ibu sama Ayah udah diskusi masalah gedung sama catering, nanti Kakak lihat, ya..."

Aku menganganga ketika mendengar ocehan Ibu yang supercepat. Kebaya? Gedung? Catering? Astaga... ini ngebet apa visioner, ya?

"Wow...! Wow...! Sabar, Bu... sabar... tenang, ya..." kataku membawa baskom berisi sayuran yang sudah selesai kusiangi ke meja lain kemudian mencuci tangan. Aku kembali ke meja makan, menumpukan kedua tanganku menatap Ibu dan menata hatiku.

"Kakak sudah pernah bilang kalau Kakak dan Mas Kanasta nggak ada hubungan apa-apa, kan?" kataku memulai percakapan.

"Lho bukannya Kakak suka?"

Aku mengangguk, "Iya, Kakak suka." Kataku jujur. Nggak ada gunanya bohong sama Ibu.
"Tapi Mas Kanastanya enggak." Lanjutku.

Ibu mengernyitkan kening, "Masa sih?"

Aku mengangguk.

"Kakak yakin?"

Aku mengangguk mantap. Lalu mengalirlah ceritaku, tentang Esa yang dulu pernah mempromosikanku dan ditolak, lalu terakhir kali ketika Esa mencoba untuk mengonfirmasi kembali, dan kembali ditolak. Nah, double kill nggak tuh.

"Kakak yang ditolak?" Ibu menanyakan ulang karena tidak percaya. Ya... Bu, aku juga nggak percaya, anakmu yang kece ini ditolak. Dua kali pula.

Aku mengangguk.

"Bukan Kakak yang nolak?"

Aku menggeleng.

"Kakak yakin? Nggak mau konfirmasi ulang?"

"Enggak perlu. Mau konfirmasi ulang gimana lagi? Yang ada Kakak malah malu kalau ditolak di depan Kakak langsung. Udah paling bener memang lewat perantara, Bu. Jadi nggak malu-malu amat."

"Siapa tahu Esa salah denger. Atau Esa lagi ngeprank Kakak."

Ilih, Si Ibu ngerti ngeprank juga.

"Enggak, Bu... Nggak ada Prank-prank an. Ini udah bener begini kejadiannya... sudah, ya... mungkin memang kami tidak berjodoh."

"Kak..." Ibu mengenggam tanganku dan menatapku iba.

"Kakak nggak apa-apa. Ibu doain aja yang tebaik buat Kakak ya..."

"Ibu selalu doain Kakak. Kakak juga dong, berdoanya yang kenceng."

"Iya..."

"Kakak bener nggak apa-apa?"

"Ya apa-apa kalau Ayah dan Ibu bahas beliau terus. Makanya nggak usah dibahas lagi, ya..."pintaku serius.

Ibu terlihat berpikir sejenak.

"Beneran nggak jadi nih, Kak?" tanyanya masih enggan percaya.

Aku menggeleng, "Enggak."

"Gagal nih Ibu punya mantu dokter?" tanya Ibu jenaka.

Aku terkikik geli, "In syaa Allah nanti dapat menantu yang jauh lebih baik."

"Aamiin."

***

Note : Dikit dulu yaa... In syaa Allah besok panjangan deh

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang