Bertemu Ayah

215 65 5
                                    

Secangkir teh dan obrolan ringan di sore hari dengan Mas Kanasta itu membuatku nyaman, entah hanya aku yang merasakan atau dia juga. Sudah lama sekali rasanya aku tak mengobrol senyaman ini dengan orang lain selain dengan Esa. Aku memang tipe yang bergaul sesuai mood, Kalau moodku sedang bagus aku bisa mengobrol dengan santai dengan rekan kerja atau teman kos, Kalau sedang tidak bagus, jangan ditanya.... Tapi mengobrol dengan nyaman? Aku bisa menghitung hanya dengan sepuluh jariku selama aku hidup.

Obrolan kami terus berlanjut hingga berpindah ke beberapa topik, tanpa tahu kapan dan siapa yang akan mengakhiri obrolan sore ini. Bahkan setelah teh yang kusajikan tandas, nyatanya kami masih betah sahut menyahut topik obrolan.

Hingga fokus kami sedikit terbelah ketika pagar kos terbuka, ada seseorang yang dengan mudah membukanya dari luar. Seorang gadis—Salah satu penghuni kos yang tidak kutahu namanya kemudian masuk dengan sepeda motornya. Yang mengejutkan adalah pasangan di belakang gadis itu.

Ayah dan Ibu.

Mereka menatap ke arah kami sejenak sebelum akhirnya ikut masuk. Ibu yang sudah turun dari motor sigap menutup pintu gerbang, sementara Ayah mengemudikan motor dan parkir di tempat parkir motor.

Sesaat aku lupa kehadiran Mas Kanasta, hingga Ayah dan Ibu mendekati kami dengan tatapan penuh minat.

"Orangtuamu?" tanya Mas Kanasta pelan.

"Iya."

"Assalamu'alaikum..." Ibu mengucapkan salam sambil tersenyum lebar tapi matanya jelas tak lepas dari Mas Kanasta.

"Wa'alaikumsalam." jawabku kemudian mencium tangan Ibu, tapi pandangan beliau masih tertuju pada Mas Kanasta yang kemudian tersenyum sopan.

"Oh, ada tamu rupanya..." kata Ibu lagi berbasa-basi.

Aku tak menjawab dan mencium tangan Ayah yang menyusul di belakang Ibu. Ayah kemudian bersalaman dengan Mas Kanasta.

"Kanasta, Om." Mas Kanasta terlihat luwes dan ramah seperti biasa.

"Kuncoro." jawab Ayah mantap, tapi tatapannya menyelidik penuh minat.

"Saya Kinasih. Kami Orangtuanya Kayyisa." balas Ibu.

Aku menelan ludah ketika mulai menyadari keadaannya. Oh, tidak! Jangan sampai Ayah Ibu mikir macam-macam. Pertemuan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

"Mm... Mas Kanasta hari ini praktik jam berapa?" tanyaku, hendak mengusirnya secara halus.

Ayah dan Ibu saling bertatapan, Ibu tersenyum geli sambil mulutnya mengucapkan kata 'Mas' setengah meledekku.

"Jam delapan."

"Nggak pulang sekarang aja. Nanti telat lho."

Aku berusaha memberinya petunjuk lewat tatapan mataku yang memohon. Please, Mas. Kali ini peka lah.

"Enggaklah. Kan dekat, ini baru jam berapa..." jawabnya terlalu jujur. Sepertinya lelaki ini tidak paham situasinya.

"Kak, tolong buatkan minum buat Ayah dong." pinta Ibu, setengah memaksaku untuk masuk ke dalam kamar.

Aku masih enggan. Usiran halusku rupanya tak dibaca secara jelas oleh Mas Kanasta.

***

Aku membuat dua cangkir teh dengan cepat, kudengar derap langkah kaki mereka menjauh dari teras kamarku.

Jantungku berdetak tak karuan. Jangan sampai Ayah dan Ibu salah paham. Jangan sampai mereka ngobrol yang aneh-aneh. Tepatnya orangtuaku sih. Maka aku pun bergegas menyelesaikan tugasku membuat teh, agar bisa segera menyusul mereka.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang