Semua Punya Jodoh

217 61 13
                                    

Aku harus bersyukur bahwa kemarin yang berada di lokasi kejadian adalah Bu Salma dan Pak Roni. Nggak kebayang kalau Bu Lia atau rekan kerja lain melihat kejadian kemarin, pasti sekarang sekolah sudah heboh karena sudah ada cerita yang dilebih-lebihkan.

Bu Salma dan Pak Roni hanya menanyakan keadaan korban dan aku setelah kami berpisah kemarin, meski sudah kujawab melalui whatsapp. Mereka kembali bertanya ketika bertemu denganku hari ini di sekolah. Pak Roni dan Bu Salma juga menutup rapat mulut mereka dan tidak menyebarkannya ke pihak lain, mereka bahkan tidak merasa perlu untuk bertanya mengapa sampai ada kejadian kemarin. Entah karena mereka tidak terlalu peduli atau mereka memang tidak mau mencampuri urusan pribadi orang lain. Apapun alasan mereka, aku suka dengan sikap yang mereka ambil.

"Bu, gimana? Udah chattingan belum?" Tanya Bu Lia setelah berhasil menjajariku yang baru keluar dari kelas.

"Ha? Eh? Belum, Bu." jawabku jujur.

"Lho? Kok belum sih? Kan udah saya kasih nomornya." desak Bu Lia. Kemarin, tanpa tahu situasinya, Bu Lia berinisiatif untuk memberikan nomor Eric padaku. Tentu saja aku nggak berkesempatan untuk menghubunginya. Tapi kalaupun ada kesempatan juga aku ogah lah chat duluan.

"Enggak ah, Bu. Masa cewek chat duluan." aku masih berusaha mengelak.

"Halah nggak apa-apa, hari gini. Nggak usah gengsi. Kalau gitu nomor Bu Kay yang saya kasih ke Eric ya... biar dia yang telepon atau chat duluan." Bu Lia sampai menghentikan langkahnya dan bersiap mengambil ponsel. Tapi aku buru-buru mencegah.

"Bu... anu... maaf..." kataku terbata sambil memegang lengan Bu Lia.

Otakku berpikir keras, bagaimana cara menolak 'perjodohan' ala Bu Lia ini. Dengan keahlian komunikasi yang dimiliki Bu Lia kayaknya semua alasanku bisa dipatahkan dengan mudah deh. Apa aku jujur aja ya kalau aku sama sekali nggak tertarik sama Eric. Bakal jadi gossip nggak, ya?

"Saya kayanya belum tertarik buat kenalan sama cowok dulu." kataku lugas.

"Lho? Kenapa?" Bu Lia mengernyit tidak suka.

Apa pilihan kalimatku akhirnya menjadi boomerang? Padahal aku mau bilang kalau Eric sama sekali bukan tipeku, jadi aku ogah buang-buang waktu kenalan sama dia, di samping hatiku juga masih terpaut dengan lelaki lain. Tapi memangnya sopan ya ngasih alasan kayak gitu?

"Sebenarnya saya habis patah hati, Bu. Jadi mau menata hati dulu." akuku pada akhirnya.

"Ha? Bu Kay baru putus? Sama siapa? Yang jual rumah itu? Katanya nggak pacaran sama dia." Bu Lia menipiskan bibirnya.

"Enggak, Bu. Bukan..." kataku mengelak, kemudian lanjut berjalan. Tuh kan... urusannya panjang nih kalau ngomongin masalah pribadi sama Bu Lia.

"Terus siapa? Bu Kay selama ini pacaran sama siapa sih? Yang mutusin siapa? Bu Kay? Apa pacarnya?" Kejar Bu Lia terus menjajariku.

Duuh... kenapa patah hati selalu dikaitkan dengan pacaran, sih?

"Kalau memang sudah putus ya malah bagus dong, berarti saatnya cari yang lain. Eric itu kandidat yang cocok, udah lanjut aja kenalannya. Sekalian move on." Bujuk Bu Lia lagi. Beliau sampai mengikutiku ke meja, bahkan kurasa dengan sengaja menaikkan volume suaranya agar rekan-rekan yang lain turut mendengar percakapan kami. Bu Salma yang sudah duduk di sebelahku ikut menoleh. Tapi kemudian berkutat lagi dengan laptopnya.

Aku menggaruk kepala yang tertutupi hijab.

"Bu, saya ini habis patah hati. Patah hati, walau nggak kelihatan lukanya, bukan berarti nggak ada. Saya butuh waktu untuk sembuh. Ibarat orang kecelakaan, saya sedang luka-luka, tangan dan kaki saya patah. Daripada memaksa saya untuk berjalan apalagi berlari, bukannya lebih baik membiarkan saya beristirahat sejenak?" Kataku melembut, menatap Bu Lia dengan serius, mengharap pengertiannya.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang