"Maaf ya, Bu... Kakak nggak bisa pulang minggu ini. Ada pekerjaan yang mau kakak selesaikan..." pamitku pada Ibu melalui sambungan telepon. Tadinya aku mau pulang saat week end seperti biasa. Tapi kupikir-pikir lagi lebih baik aku menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, Kalau di rumah suka nggak kepegang.
"Iya nggak apa-apa, Kak. Kakak sehat-sehat. Kalau sakit langsung kabari. Jangan diem-diem." pesan ibu.
"Iya... sudah sehat banget, Bu."
"Kakak udah makan belum?"
"Udah, Ini lagi makan di luar. Ibu udah makan?"
"Udah tadi temenin Ayah makan pecak di warung langganan. Di luar sama siapa, Kak?"
"Sendirian. Ngerjain kerjaan ini. Bosen di Kos."
"Nggak sama Esa?"
"Mm... rencananya nanti malam mau ketemuan sama Esa."
Di akhir percakapan kami, lagi-lagi Ibu mengingatkan tentang poster peringatan dari Ayah. Satu minggu lagi, Kay....
Aku mendengus. Ya udah lah, Kay. Pasrah aja, siapa tahu calon dari Ayah oke dan memang jodoh, kalau nggak jodoh juga pasti dijauhkan dengan sendirinya. Batinku menyemangati diri. Lebih baik fokus ke pekerjaan saja. Sebentar lagi sudah UAS, pekerjaan menumpuk di depan mata. Aku harus membuat soal, mengoreksi, mengisi rapor, lalu kembali berkutat dengan silabus dan rencana pembelajaran. Astaga! Aku terlalu sibuk untuk mencari jodoh sendiri.
Pesanan Jus semangka dan pisang bakar untuk camilan sambil menyelesaikan pekerjaanku sudah diantar pramusaji. Di waktu libur seperti ini, aku menginginkan suasana baru selain di dalam kamar kos. Maka pilihanku jatuh pada salah satu resto yang biasa aku kunjungi dengan Esa.
Hari ini aku berencana mengumpulkan semua bahan ajarku untuk mencicil membuat soal UAS. Dulu aku sering mengeluh dengan sulitnya soal yang diberikan guru atau dosen. Sekarang aku paham, membuat soal pun tak kalah sulitnya. Meski itu hanya untuk level pendidikan SD. Berkali-kali aku lari dari teori yang aku terima saat pelatihan tentang rasio soal mudah-sedang-sulit. Belum lagi jika hasil ujian anak-anak didikku ternyata tidak sesuai ekspektasi. Bukan hanya mengevaluasi mereka, yang terberat adalah mengevaluasi materi dan cara mengajarku serta soal-soal yang kubuat.
Setelah hampir dua jam berkutat dengan bahan ajar dan soal—yang tentu saja belum selesai—aku memilih beristirahat. Jus semangka dan pisang bakarku sudah tandas, Aku berencana untuk makan berat kali ini. Pilihanku jatuh pada spaghetti aglio olio with grilled chicken, salah satu menu favoritku di resto ini, minumnya... air mineral saja lah.
Restoran bergaya minimalis ini memang biasa ramai waktu week end, selain makanannya enak, harganya juga relative terjangkau. Tapi sekalipun banyak pengunjung, tempat ini tak terlalu berisik, jadi aku tetap bisa berkonsentrasi bekerja dengan bermodalkan earphone.
"Ternyata betul Kayyisa... Assalamu'alaikum..." Senyum manis itu mengembang sempurna tepat di depan wajahku. Aku memundurkan tubuh saking terkejutnya.
Dokter Kanasta masih menatapku dengan jenaka. Aku melepaskan earphone dan tersenyum kaku.
"Wa'alaikumsalam, Eh...Dok."
"Sendirian? Boleh saya duduk di sini?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan tanpa sadar, karena aku sibuk meneliti penampilannya hari ini yang tampak segar. Rambutnya terlihat lebih pendek dan rapi dibanding terakhir kami bertemu, mana jadi kelihatan tambah ganteng dengan model cukuran seperti itu. Ia tampak casual mengenakan kaus berwarna hitam polos dan celana krem. Tangannya menenteng bingkisan besar entah berisi apa yang kemudian ia letakkan di meja.
"Saya tadi udah lihat dari luar, kayaknya kamu. Ternyata betul." lanjut Dokter Kanasta lagi, kali ini sudah duduk santai di hadapanku.
Aku hanya nyengir. Sebenernya nih... sejujurnya... sesungguhnya... kalau ingat waktu aku mengira dia penculik, terus jatuh di depannya, dan dia tahu aku pura-pura pingsan, aku rasanya nggak pengin ketemu cowok ini lagi. Tapi wajah bening dan senyum ramahnya itu kok susah kalau dilewatkan begitu saja, ya. Apalagi dia juga nggak bahas tentang pertemuan kami yang didominasi kecerobohanku itu.
"Sendirian, Dok?" tanyaku basa-basi. Ya masa dianggurin aja nih dokter kece.
"Janjian sama orang. Tapi belum datang. Kamu masih sakit?"
"Sudah enakan, terima kasih, Dok."
"Kamu mau jadi pasien saya lagi?"
"Ya jangan dong, Dok." jawabku cepat. Ya... meskipun dokternya kece begini, aku juga ogah kalau sakit lagi.
"Habis dari tadi panggilnya dak dok dak dok, kirain mau jadi pasien lagi." jawabnya cuek kemudian tersenyum geli.
"Kan memang dokter."kilahku.
"Kalau di pekerjaan iya, kalau di luar kan saya hanya cowok biasa yang lebih tua dari kamu dan bisa dipanggil Mas."
Eh? Memang iya lebih tua? Kok tahu? Baru saja mau bertanya begitu, aku baru ingat kalau ia pernah membaca rekam medis dan sudah pasti ada usiaku.
"Mas banget?" Aku menaikkan alis tak terima. Kok kesannya akrab banget gitu lho, padahal kita nggak yang kenal gimanaa gitu.
"Kakak? Abang?" Ia menawarkan alternative panggilan yang nggak jauh-jauh dari arti yang lebih tua. Oppa boleh, nggak?
"...masa Sayang?" lanjutnya lagi sambil terkekeh kecil. Ewww! Nggak banget bercandanya.
"Jangan bikin baper anak orang Dok—eh Mas." balasku santai. Begini-begini aku tetap tahu diri kok. Nggak usah gampang GR lah, apalagi sama orang asing yang goodlooking gini.
"Kamu baper?"
"Enggaklah." jawabku cepat.
Obrolan kami terinterupsi ketika pramusaji datang membawakan pesanan—pasta dan air mineral.. Mas Kanasta ikut memesan scalloped potato dan air mineral.
"Oke... mm. Dok... eh Mas Kanasta,.. sorry belum terbiasa, tapi saya nggak mau jadi pasien lagi lho."
Mas Kanasta tertawa kecil, "Iya... iya... panggil Mas saja. Saya suka."
Hmm...
"Mas Kanasta yakin kalau saya lebih muda?" tanyaku lagi melanjutkan obrolan kami yang sempat terinterupsi.
"Kamu 29, kan? Saya sudah 30."
"Cuma beda setahun ini... senioritas banget kaya di Korea." Aku mencebik. Dia tertawa.
Ia tampak berhitung sejenak, "Kamu lulus SMA 2009, kan? Saya 2008. Jadi betul kakak kelas kamu."
"Kok tahu?"
"Lihat dari umur dong."
"Kan belum tentu."
"Tapi bener, kan?"
Oke aku menyerah, aku mengangguk-angguk setuju. Mas Kanasta kemudian mempersilakanku untuk menikmati menu yang kupesan. Aku belum terlalu lapar sih, tapi makanan juga nggak enak kan kalau dingin. Setelah beberapa suapan, pesanan Mas Kanasta datang. Kami menikmati makanan dan hanya sesekali berbicara tak penting. Sebenarnya suasana seperti ini cukup aneh sih, masalahnya kami nggak sedekat itu untuk makan bersama di meja yang sama. Tapi Mas Kanasta kok terlihat santai sekali.
Makanan kami habis tak bersisa, seenak itu memang makanan di sini. Mas Kanasta juga sempat memuji dan berkata kapan-kapan mau balik lagi.
"Orangnya masih belum datang?" tanyaku, kayanya sudah lebih dari sepuluh menit sejak dia menyapaku.
Mas Kanasta mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan pintu masuk.
"Belum tuh."
"Janjian sama pacar?" tanyaku iseng. Siapa tahu aja, kan...
"Nanti kamu juga tahu." katanya sambil tersenyum misterius.
Aku mengkerutkan kening. Lho? Aku kenal orang yang mau ditemui?
Menit berikutnya seseorang mendekati meja kami dan menyapa.
"Mas Kanasta, ya?"
Dan betul. Aku mengenalnya.
***
Note : Dulu, saya ngepost sampai bab ini saja. In syaa Allah besok sy post bab selanjutnya.
Tapi biar seru, tebak dulu coba siapa yg datang? 😃 Apakah org lama atau org baru?
![](https://img.wattpad.com/cover/320919877-288-k260245.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Juseyo {TAMAT}
RomanceKayyisa, seorang PNS berusia akhir 20an berstatus lajang yang dituntut keluarganya untuk segera menikah. Sang Ayah memberinya ultimatum untuk menemukan jodohnya sendiri atau menikah dengan jodoh pilihan Ayah. Kedatangan Mahendra, sang mantan satu-s...