Jangan Musuhan

222 53 2
                                    

Setelah kejadian memalukan kemarin, aku benar-benar diledek habis-habisan oleh rekan kerja, yang hanya bisa kutanggapi dengan senyum kecut. Belum lagi mereka menambah-nambahkan ledekan atas adegan ala india yang gendong-gendongan dengan Dokter—yang katanya sih masih single— Astaga, mereka tidak bisa membedakan gendong dan gotong, ya? Lagipula Pak Eddy juga membantu dokter itu.

Aku meregangkan tubuh usai duduk dalam posisi yang sama selama hampir dua jam, menunggu sekolah sepi. Sudah 2 malam ini aku demam, aku sudah berpikir untuk ijin, tapi...tadi pagi demamnya seolah hilang tak berbekas, hanya menyisakan rasa lemas, jadi aku memutuskan untuk tetap berangkat. Sebagai kompensasinya aku tidak naik motor sendiri. Bisa berabe kalau pingsan di jalan.

Biasanya jam-jam pulang sekolah, angkot selalu penuh. Makanya aku memilih menunggu barang satu atau dua jam lagi sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ada kalanya aku enggan melewati keramaian pulang sekolah yang selalu penuh dengan anak-anak dan para penjemput.

Setelah merasa area sekolah sudah cukup sepi dan pekerjaanku juga sudah selesai, aku merapikan meja dan bersiap pulang. Sekarang di otakku sudah merancang berbagai kegiatan yang akan aku lakukan setelah ini. Beli es cincau di depan sekolah, naik angkot, beli makanan di warteg dekat kos, istirahat, dan jika memungkinkan nanti malam aku akan periksa ke klinik dekat kos.

Rencana-rencana itu tampaknya sempurna, membuatku bersemangat. Hingga aku melihat sosok manusia yang berdiri di gerbang sekolah, celingak celinguk mencari sesuatu.

Aku mendengus kasar.

Salah satu manusia yang paling tidak ingin aku temui di dunia ini selain dajjal adalah Mahendra Wijaya. Sayangnya lelaki itu justru muncul lagi di depan sekolah siang ini.

"Hai, Kay! Apa kabar?" tanyanya basa-basi mengikutiku sejak keluar gerbang. Untung saja ibu-ibu yang menjemput anak-anaknya sudah pulang, kalau tidak, mungkin sudah jadi headline pekan ini. Bu Kay, si jomblo awet didatangi cowok ke sekolah atau tagline serupa.

"Ngapain ke sini?" tanyaku berusaha baik.

Jangan galak-galak, Kay. Masih ada anak-anak yang melihatmu. Guru itu... digugu lan ditiru...

"Mau ketemu kamu." katanya mengikuti langkahku menuju penjaja es cincau.

"Ngapain?" tanyaku masih enggan melihatnya.

"Mau ngobrol. Udah lama kita nggak ngobrol kan, Kay. Kita memang udah putus, tapi apa iya kita harus musuhan kaya gini, Kay?" katanya dengan nada manis. Peh...!

"Pak Es cincau, bungkus dua, ya." kataku pada si penjaja cincau, tak pedulikan ocehan Hendra.

"Siap Bu." Kata si Bapak semangat, aku tahu matanya sempat mencuri pandang ke arah Hendra yang tampak menonjol dengan tinggi badan dan penampilannya.

"Aku masih sayang kamu, Kay..."

Idih.

Modal Dusta.

Percaya, nggak? Ya enggaklah! Kami sudah bertahun-tahun berpisah, mustahil rasa itu masih ada. Kalau rasa keselku ke Hendra jelas masih ada. Aku tahu Hendra hanya sedang mengeluarkan jurusnya, sebab aku mengabaikan perkataannya tadi. Aku yakin, kalimat itu hanya untuk memancingku.

"Pak, ini santen kalau dibiarin aja sampe besok jadi apa?" tanyaku pada si penjaja.

"Ya... basi, Bu."

Aku menatap Hendra, seolah memberitahu bahwa itu juga jawabanku atas ucapannya.

Hendra nyengir sambil menggaruk kepalanya.

"Jangan GR, Kay. Maksudku sayang sebagai teman." kata Hendra.

Tuuh kaan... udah hapal si Hendra sih.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang