3. Sebuah Kesalahan

304 90 62
                                    

"Bekas luka yang tidak bisa kalian lihat adalah bekas luka yang paling menyakitkan."

― Michelle Hodkin


― Michelle Hodkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Enggak, Sa. Kalau menurutku, cowok kayak Kaivan itu enggak bakal pernah punya pacar. Mana ada sih cewek yang mau sama dia yang modal tampang doang?"

"Ya ampun, Bella! BANYAK yang mau sama Kaivan, Bella! Cuma lo saja kayaknya yang enggak doyan sama Kaivan," desah Rosa, masih kecewa karena mendapatkan penolakan tidak langsung dari Kaivan.

"Mungkin dia cuma kerasukan jin penunggu kelas ini kayak yang kamu bilang, Sa," ucapku pada akhirnya menyetujui teori sableng Rosa.

Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dilakukan Kaivan beberapa menit yang lalu pada sahabatku. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, baru kali ini ada cowok yang tidak terhipnotis oleh kecantikan paripurna Rosa.

"Bella, gimana kalau Kaivan sudah punya pacar?"

"Enggak mungkin, Sa."

"Kalau punya gimana dong?"

"Enggak punya, Sa."

Rosa meraih wajahku, menangkupkan kedua telapak tangannya pada pipiku. Tangannya masih terasa dingin.

Klasik. Caranya itu menandakan bahwa ia sedang menginginkan sesuatu dariku.

"Apa?" tanyaku to the point.

"Tanyain dong ke Kaivan, dia sudah punya pacar apa belum? Sekali saja, please."

"Kok jadi aku yang nanyain? Enggak nanya sendiri?" ketusku tak terima karena harus terlibat dengan Kaivan. Cowok modal cakep doang, tapi sekolah musiman—kadang datang kadang hilang. Enak banget rasanya hidupnya. Enggak perlu takut nilai turun dan gagal masuk kedokteran kayak aku. Membayangkannya saja membuatku kesal.

"Bell, lo enggak lihat gue tadi diplengosin? Serem, Bell. Gue takut!" Rosa lalu memegang lenganku, dia memasang wajah memelas.

"Ya kan tadi dia masih kerasukan setan kelas. Siapa tahu sekarang setannya sudah pergi kan?" Aku masih berusaha untuk menolak permintaannya.

"Please!"

Hanya satu kata saja tapi mampu mengubah pikiranku seketika. Aku tidak bisa melihatnya sedih seperti ini. Sepertinya aku memang harus turun tangan.

"Ya sudah deh, aku tanyain nanti," ucapku pada akhirnya menyerah.

"Yes! Terima kasih, kesayangan gue! Bella terbaik enggak ada lawan!" balas Rosa kembali riang seakan-akan semua yang dilakukannya hanyalah akting semata.

Saat bel tanda berakhirnya waktu istirahat berbunyi, para siswa kelas XII IPA 7 kembali masuk ke dalam kelas, termasuk Kaivan. Sepasang AirPods masih menyumpal kedua lubang telinganya.

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang