"Kadang kamu tidak pernah tahu nilai dari sebuah momen sampai momen itu berubah menjadi sebatas kenangan,"
-Dr. Seuss
Aku tidak mengerti, sebenarnya aku sedang terjebak dalam hal apa saat ini. Aku menikmati es krim yang sudah nyaris habis sambil bersandar di dinding, mataku lurus mengawasi Alex yang sudah menghabiskan es krim keduanya sambil duduk di atas motor trail besar itu. Ia terlihat menikmatinya, ia bahkan memintaku untuk memotretnya di atas motor itu tadi.
Sementara itu, di sampingku ada Kaivan yang juga tak kalah rakus dengan Alex saat makan es krim. Sepertinya ia benar-benar menyukai es krim. Meski berdiri bersebelahan dan bersandar di dinding yang sama, aku benar-benar tak punya keberanian sedikit pun untuk menatap ke arahnya. Melirik pun mataku tak bisa bergerak.
"Enak. Udah abis aja enggak kerasa." Kaivan tiba-tiba berjalan ke arah tempat sampah yang ada di hadapanku lalu memasukkan sampah di tangannya ke dalam tempat sampah itu. Ia lalu berbalik menatapku.
Mataku segera lari menatap es krim yang tinggal satu gigit lagi di stiknya. Sial, apa yang harus kuucapkan kalau es itu habis?
"Lo umur berapa sih, Bell?"
"Hmm?" Apa aku salah dengar?
"Lo makan es krim aja belepotan. Jangan-jangan lo lebih muda dari adek lo."
Aku refleks memakan es krim yang tersisa lalu mengusap bibirku. Rasanya sedikit lengket dan punggung tanganku pun sudah berubah jadi berlapis cokelat.
"Nih." Kaivan menarik tanganku tiba-tiba. Tanpa mengucapkan apa pun, ia mengusap punggung tanganku dengan tangannya yang besar, putih, dan hangat.
Aku terlalu shock untuk bisa sekedar mengedipkan mataku. Tangan Kaivan berpindah ke bibirku, dan mengusapnya lembut. Dan yang terakhir, seakan semua itu tidak cukup, Kaivan mencabut stik es krim yang masih berada di dalam mulutku.
"Enggak usah sok jadi preman, enggak cocok," ucapnya lalu berpaling dan melempar stik itu ke dalam tempat sampah.
Kuperhatikan punggung Kaivan menjauh, kembali menghampiri Alex di atas motornya lalu melakukan apa yang baru saja dia lakukan padaku. Membersihkan tangan dan bibir mungil Alex yang penuh dengan cokelat, membuang sampah untuknya. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan karena tiba-tiba aku merasa sangat jauh dari keduanya.
Ah, hanya perasaanku saja. Sekilas. Walau hanya sekilas, aku merasa bahwa Kaivan seperti menyukaiku. Tapi perasaan yang hanya sekilas itu segera hilang saat melihat Kaivan memperlakukan Alex sama seperti ia memperlakukanku. Sepertinya, itu memang kebiasaannya saja, karena dia orang yang perhatian. Bukan karena dia memiliki perasaan padaku.
Dengan begitu. Aku merasa dadaku terasa lebih ringan.
"Kak Bella, mau jalan-jalan naik ini sama Kak Kaivan!" pinta Alex setengah berteriak hingga orang-orang yang berkunjung di supermarket mini itu melihat ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Semicolon (Open Pre-Order)
Fiksi RemajaLagi open PO sampai tanggal 19 September aja nih. Yuk peluk versi cetaknya https://shope.ee/6Kc3kHQaLm Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu a...