29. Terselamatkan

129 46 52
                                    

"Yee

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yee ... kamu tuh ganteng bukan cantik, Kaivan. Kamu ngatain mama ngelantur tapi kamunya sendiri ngelantur kayak gitu." Bu Vida sampai bangkit untuk menjitak kepala Kaivan karena ikut tak bisa menahan emosi setelah mendengar pertanyaan refleks Kaivan.

"Aduh, Ma." Kaivan mengusap puncak kepalanya karena dijitak sampai mengeluarkan bunyi.

Aku hanya bisa nyengir melihat interaksi antara Ibu dan anak yang tidak pernah kudapatkan di rumah. Entah kenapa keduanya terlihat sangat akrab seperti bersahabat dekat. Tidak ada rasa canggung atau kaku.

Kaivan pasti senang punya mama seperti Bu Vida. Hidupnya pasti bahagia di rumah.

Benar, saat itu aku berpikir seperti itu karena aku tidak tahu apa-apa. Jika aku tahu, mungkin penilaianku akan sedikit berbeda. Atau justru banyak berbeda.

Masih banyak hal tentang Kaivan yang tidak aku tahu saat itu. Meskipun aku merasa sudah semakin mengenalnya akhir-akhir ini.

"Kalungnya juga bagus banget, Ma. Makasih banyak ya Ma, Van!" sahut Rosa tiba-tiba sudah memakai sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati berwarna perak yang mengkilap indah.

Semua mata pun dengan cepat tertuju kembali padanya. Aku setuju dengan Rosa, kalung yang sedang ia pakai itu memang cantik. Dan liontin hati yang terbentuk pun terlihat sempurna. Tanpa sadar, aku sudah tersenyum saat memperhatikannya.

"Itu hatinya Kaivan dijaga baik-baik ya, Cha. Biar dititipin ke kamu dulu, Cantik." Bu Vida menghampiri Rosa untuk membelai rambutnya yang dibiarkan tergerai pagi itu. Detik berikutnya, keduanya sudah berpelukan erat sambil berdiri di depanku dan Kaivan.

Kulirik Kaivan yang kembali sibuk mengunyah sesuatu dan tak tertarik untuk melihat adegan haru di depan wajahnya.

"Nih, cokelat buat lo," ucapnya tiba-tiba setelah merogoh sesuatu dari tas ranselnya, cokelat Cadbury Dairy Milk Classic ukuran sedang.

Aku melotot saat melihat cokelat varian favoritku itu di tangan Kaivan.

"Jangan dipen–."

"Yahhh—"

Aku nyengir saat terlambat menghiraukan peringatan Kaivan. Cokelat itu sedikit lembek, saat aku memencetnya sedikit, bentuknya pun hancur seketika.

"Serius buat aku?" tanyaku masih tak percaya.

Kebetulan macam apa ini? Dapat cokelat yang enggak bisa aku tolak biarpun sedikit membuatku terkesan tidak tahu diri.

Kaivan mengangguk mantap. Ia lalu kembali menarik ritsleting tas ranselnya hingga tertutup sempurna.

Tunggu dulu, bukankah tadi ia meninggalkan tas ransel itu saat pergi belanja? Dan cokelatnya juga sudah setengah meleleh seakan cokelat itu sudah lama berada di dalam tas ransel. Kalau baru saja dibeli dari supermarket, enggak mungkin sudah meleleh seperti ini kan?

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang