21. Pacaran?

150 47 47
                                    

Belum juga merayakan capaian hari itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kelas yang tertutup dari luar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belum juga merayakan capaian hari itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kelas yang tertutup dari luar. Membuat semua mata seketika bergerak ke arah pintu itu.

Bu Afia berjalan untuk membukakan pintu dan ternyata yang datang adalah Bu Yanti—guru bimbingan konseling—ditemani Pak Hari—kepala sekolah SMA Garuda.

"Selamat pagi, Bu Afia!" sapa Pak Hari mendahului Bu Yanti.

"Selamat pagi, Pak, Bu. Ada keperluan apa ya datang kemari?" tanya Bu Afia terlihat bingung. Sama bingungnya dengan aku dan sebagian besar anak di kelas XII IPA 7.

Aku perhatikan mereka mulai bergerak aneh seakan baru saja melanggar peraturan-peraturan sekolah sehingga membuat Pak Hari dan Bu Yanti sampai datang ke kelas.

"Mampus, gue habis nail art lagi semalem. Aduh, gimana ini?"

"Lo masih mending. Lah gue, sepatu gue hari ini warna merah."

Aku mendengar bisikan-bisikan anak-anak di kelas yang terus bergerak gelisah.

"Aleesha Isabella Martha dan Mario Kaivan Wijaya, Bu Yanti ingin pinjam keduanya sebentar, Bu Afia," jawab Pak Hari dengan suara yang cukup jelas terdengar di dalam kelas.

Seketika semua mata tertuju padaku secara serempak, bahkan Bu Afia pun menatapku dari pintu. Membuatku sangat mudah ditemukan.

Aku menelan ludah. Ini adalah pertama kalinya aku dipanggil oleh Pak Kepala Sekolah dan guru BK saat kelas sedang berlangsung. Apa yang terjadi?

Perasaanku sudah tidak enak. Jantungku mulai berdebar. Namun, meski begitu, kulihat Kaivan—yang kuyakin ia sebenarnya mendengar namanya juga disebut—terlihat tidak acuh dan kembali memejamkan kedua matanya.

"Bella, Kaivan, silakan ikut Bu Yanti sebentar!" panggil Bu Afia ikut penasaran dengan apa yang membuat namaku disebut. Mungkin? Entahlah, benakku terlalu penuh.

Aku refleks berdiri. Kulihat Kaivan tetap diam tak melakukan apa pun. Aku tidak ingin memaksanya memenuhi panggilan itu, jadi kuputuskan untuk berjalan sendiri.

Aku tersenyum kikuk pada Bu Yanti dan Pak Hari yang tersenyum ke arahku. Aku tidak mengerti, mengapa mereka menatapku dengan tatapan mata seperti itu? Apa yang mereka inginkan dariku?

"Kaivan!" panggil Pak Hari tiba-tiba sedikit berseru.

Aku melihat ekspresi di wajahnya Pak Hari. Ia terlihat sedikit khawatir namun juga kecewa pada waktu yang bersamaan. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia rasakan sebenarnya. Semua orang juga tahu kalau Pak Hari adalah paman Kaivan. Jadi, memanggil keponakan karena permintaan guru BK sepertinya bukan hal yang baik untuk reputasinya.

Namun, Pak Hari yang usianya kira-kira masih mendekati 40 tahunan itu tiba-tiba menatapku kembali lalu tersenyum.

"Aleesha, apa kamu bisa paksa Kaivan ikut?" tanyanya lebih ke sebuah permintaan. Aku mengerjap. Kenapa jadi aku yang harus memaksanya?

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang