23. Parfum?

154 49 44
                                    


Akhirnya, permintaan Kaivan pun disetujui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya, permintaan Kaivan pun disetujui.

Setelah membicarakan hal itu, Bu Yanti dan Pak Hari menyuruh kami berdua untuk kembali ke kelas. Tidak perlu memberitahu siapa pun yang terjadi di dalam ruang BK. Karena Pak Hari bahkan sudah yakin kalau orang-orang yang lain sudah mengetahuinya.

Aku berjalan bersama Kaivan. Ia sama sekali tak mengucapkan apa pun. Aku ingin tahu bagaimana ekspresinya saat ini tapi kalau aku meliriknya, aku harus mendongakkan sedikit wajahku. Dan kalau aku melakukan itu, ia akan tahu kalau aku sedang meliriknya.

"Mau balik ke kelas atau bolos aja?" tanyanya tiba-tiba menyeletuk.

"Hah? Baru juga dihukum malah mau cari gara-gara lagi. Kamu pengen dapet hukuman tambahan?"

"Gue laper. Akting di kelas tadi bikin gue laper."

Aku mengernyit. "Bukan karena akting tapi karena kamu tidur mulu kali. Makanya cepet laper."

Kaivan tiba-tiba menyetopku. Baru saja kami berjalan di koridor yang selanjutnya terbagi menjadi dua arah. Arah kanan akan kembali ke kelas dan arah kiri akan menjauh dari kelas.

"Ikut gue. Gue traktir."

Kaivan menarikku berbelok ke arah kiri, berlari. Dan aku tidak punya pilihan lain selain mengimbangi langkah cepatnya.

"Eh, Kai, ya ampun. Nanti Bu Afia nyariin!" Aku menahan suaraku agar tidak membuat keributan, meskipun sepatuku sudah membuatnya lebih dulu.

"Enggak apa-apa. Lagian, balik atau enggak balik bakal tetep dihukum."

Kaivan membawaku ke tempat parkir motor sekolah. Ia baru melepas tanganku saat aku berdiri di depan motocross hijau itu. Aku menatap motor itu dalam diam, tiba-tiba teringat Alex saat melihatnya. Apa yang sedang ia lakukan sekarang ya?


"Nih, pakai."

Kaivan tiba-tiba memasang helm besar dan berat itu di kepalaku. Masuk begitu saja dengan mudahnya sebelum aku sempat membuka mulut. Aku melotot padanya melalui lubang mata pada helm itu. Namun Kaivan sudah memasang pengait helmnya dan mengunci kepalaku.

"Apaan?" protesku mulai merasa pengap karena tidak pernah memakai helm sebesar dan seberat itu.

Kaivan terkekeh. Ia lalu naik ke atas motornya dan menyalakan mesin. Suara knalpotnya benar-benar tidak ramah lingkungan.

Brummm!

"Lo kalo kayak gitu mirip alien deh, Bell."

Aku mengernyit, tapi Kaivan pasti tidak bisa melihatnya. Ia hanya bisa melihat kedua mataku mengintip dari helm itu.

Brummm!

"Ayo naik!"

Memangnya boleh? Bukankah dilarang meninggalkan sekolah sebelum sekolah berakhir? Apa Kaivan punya jalan pintas tersembunyi? Dia tidak mungkin tidak tahu soal itu, bukan?

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang