8. Menunggu

200 73 53
                                    

"Mencintai itu sangat cepat. Namun melupakan itu sangat lama."

-Pablo Neruda

Rosa berjalan menghampiriku, tapi dia tidak sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rosa berjalan menghampiriku, tapi dia tidak sendiri. Ani berjalan di sisinya, posisi yang biasanya kutempati setiap hari. Namun kali ini, aku berdiri di tempatku dan menunggu dengan bibir terkunci. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan. Tapi Rosa tiba-tiba mengambil tas ranselnya dari atas meja dan berbalik tanpa mengatakan apa pun.

"Mau ke mana, Sa?" Refleks tanganku mencengkeram pergelangan tangannya, mencoba menghentikannya. Namun ia dengan cepat juga menghempaskannya. Kasar.

"Gue udah bilang kalo gue udah enggak betah duduk sama lo, ngerti?" Rosa tidak menatapku saat mengucapkannya. Semua kata kasar itu keluar begitu saja dengan lancar seakan ia sudah mempersiapkan semuanya, menghafal semuanya dengan baik sebelum datang menemuiku.

"Cewek kayak lo tuh bagusnya enggak usah ada yang nemenin. Lo kan autis, baca buku aja sana lagi!" tambah Ani, bicara begitu saja tanpa ada yang memberikannya kesempatan. Aku meliriknya sekilas. "Cih." Ia berdecih lalu berbalik dengan tangan merangkul pundak Rosa. Benar, Rosa sahabatku.

Aku tidak melakukan apa pun dan menatap mereka pergi menjauh. Aku mengabaikan seluruh suara di sekitarku meski kudengar mereka berkali-kali mengucapkan namaku.

Hatiku sakit. Rosa pergi begitu saja, pindah ke meja lain di barisan nomor dua dari depan, di pojok sebelah kanan. Terlalu jauh bahkan untuk sekadar kusapa. Di bangku itu sebelumnya hanya ada Ani sendiri, dan sekarang ... akulah yang sendiri. Semuanya berubah hanya dalam hitungan detik.

Pelajaran selanjutnya pun dimulai saat guru datang. Kelas Biologi. Setidaknya, karena aku menyukai pelajaran itu ... aku bisa mengalihkan semua yang sedang kurasakan untuk belajar. Mungkin hanya untuk satu setengah jam ke depan.

🦋🦋🦋

Ding - Dong - Ding - Dong

Kelas berakhir.

Aku mengemasi barang-barangku dengan cepat. Aku masih ingin mengejar Rosa dan menanyakan semuanya dengan jelas. Aku yakin pasti ada yang salah, dan kalau itu adalah aku ... aku akan meminta maaf padanya.

Kulihat Rosa sudah memakai tas ranselnya bersama Ani. Mereka berjalan berdua meninggalkan kelas sambil saling melempar senyuman. Entah apa yang sedang asyik mereka bicarakan. Dadaku terasa sesak saat melihatnya. Ada satu hal yang paling berharga yang dicuri begitu saja dariku.

"Sa, tunggu!" seruku menyusulnya keluar. Aku berlari karena posisiku yang cukup jauh dari pintu.

Keduanya berhenti lalu menoleh secara bersamaan. Rosa menatapku dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sementara Ani tersenyum tipis sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Sa, kamu kenapa sih? Kamu beneran udah jadian sama Kaivan? Kok kamu enggak bilang sama aku sih? Kenapa kamu enggak telepon aku?"

"Tch. Kasih tau lo? Lo-nya aja enggak ada. Lagian udah terlambat, mulai sekarang ... lo ambil aja Kaivan, gue enggak bakal halangin," balas Rosa dingin. Ia bahkan mundur selangkah saat aku terlalu dekat seakan merasa jijik berdekatan denganku.

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang