14. Matematika

184 55 54
                                    

"Aku sudah tidak lagi peduli pada hal yang tidak bisa ku ubah dan orang yang tidak mau berubah."

-Unknown

Aku kembali terbangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali terbangun. Kali ini kepalaku sudah tidak lagi berdenyut parah. Aku bahkan bisa menggerakkan kepalaku tanpa masalah. Meski pergelangan tangan kiriku masih kaku. Tapi–tunggu–rasanya bukan kaku lagi. Justru sekarang berubah menjadi sedikit ... berat.

Kaivan?

Kaivan tertidur dengan bersandar pada tepi ranjang pasien di UKS. Kepalanya miring ke arahku sehingga aku bisa melihat wajahnya yang damai. Pantas saja tangan kiriku bertambah berat, ternyata tangan Kaivan menahannya. Bukan seperti orang yang sedang saling berpegangan tangan, tapi lebih seperti orang yang menahan. Kau tahu maksudku bukan? Aku memang sangat banyak gerak saat tertidur dan sepertinya Kaivan menyadarinya.

Sekarang bagaimana? Bagaimana aku bisa membangunkan Kaivan?

Aku melirik ke jam dinding di ruangan itu. Waktu hampir menunjukkan pukul satu siang. Ah, sudah mau jam pulang dan aku masih malas-malasan di sini?

Aku bangkit duduk dan gerakanku yang kasar berhasil mengusik Kaivan dari tidurnya. Ia pun terbangun lalu mengucek kedua matanya dan menatapku.

"Hai," sapanya lemas.

"Kamu ngapain masih di sini, Kai? Enggak masuk kelas?"

"Kan jagain lo. Masa lo udah lupa lagi sih, Bell?"

Aku mengerjap. Aku tidak tahu kenapa ia bisa sangat terus terang saat berbicara. Apa ia tidak takut apa pun? Maksudku, bagaimana ia bisa bicara semudah itu padahal kita tidak sedekat itu?

"Aku mau ke kelas. Astaga, ketinggalan nih pelajarannya hari ini." Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku lalu turun dari atas ranjang tinggi itu. Aku baru sadar, sepatuku tidak ada dan kakiku terasa dingin saat menyentuh lantai.

"Sini duduk."

Tangan Kaivan tiba-tiba sudah di pinggangku, membuatku terkejut. Lebih mengejutkan daripada saat menyentuh lantai yang dingin. Ia membawaku duduk di sofa yang sebelumnya ia posisikan menempel dekat ranjang.

"Mau ngapain?" tanyaku canggung. Masalahnya, hanya ada kami berdua di ruangan itu.

"Tunggu saja. Diam."

Kaivan berbalik memunggungiku. Ia berjalan keluar untuk melakukan sesuatu dan aku menunggunya seperti yang ia minta. Ia lalu kembali setelah beberapa detik sambil membawa sepatuku. Lengkap dengan kaos kaki yang dijejalkan begitu saja.

Saat aku mau bangkit berdiri, Kaivan kembali mendorongku duduk. Ia lalu berjongkok di depanku dan menarik salah satu kakiku dengan pelan.

"Eh mau ngapain?" Jujur aku sangat geli saat disentuh di bagian itu.

My Semicolon (Open Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang