Besoknya, aku benar-benar kesiangan.
Aku bergegas mandi lalu memakai seragam olahraga karena hari ini jadwal kelas XII IPA 7 untuk olahraga. Tak sempat sarapan seperti biasa. Lagi pula siapa yang mau sarapan kalau di meja makan saja kosong enggak ada orang? Aku hanya mencomot dua biji tempe goreng dan memakannya di dalam mobil. Kulirik jam tanganku. Sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Gawat!
Pak Bambang sudah kuminta ngebut, tapi tetap saja aku terlambat. Kelas olahraga dimulai lebih awal dari kelas yang lain. Saat aku tiba, kelas sudah kosong dan hanya ada tas dan beberapa seragam ganti tergeletak di atas meja. Aku tidak tahu di mana teman-teman sekelasku berada. Apakah di dalam gedung olahraga atau justru di halaman belakang sekolah. Sepertinya aku harus memeriksa dari yang berjarak dekat, gedung olahraga.
Aku melihat ada kelas yang sedang mendapatkan briefing guru olahraga mereka di dalam gedung. Tapi dari warna seragam olahraga yang mereka pakai, aku tahu kalau mereka bukan kelasku. Aku segera berlari menuju halaman sekolah di belakang gedung, hitung-hitung pemanasan.
Aku tidak memiliki masalah dalam berolahraga. Apa aku lupa menyebutkan? Olahraga dan bidang akademik bukanlah masalah bagiku. Satu-satunya skill yang membuatku bermasalah hanya skill sosial.
Aku berpapasan dengan Lucky dan Toni yang sepertinya sengaja datang terlambat. Aku berlari melewati mereka berdua.
"Hati-hati, Non. Awas kepleset!" seru Lucky, aku mengabaikannya. Tidak penting.
Di lapangan olahraga di belakang sekolah, anak-anak kelasku sedang berkumpul sambil melakukan pemanasan. Di depan mereka berdiri guru olahraga kami yang sudah menjadi favorit anak-anak cewek dari zaman kelas sepuluh. Namanya adalah Pak Mahbub. Syarat jadi favorit anak-anak cewek ya satu, visualnya harus sempurna. Dan itulah Pak Mahbub. Dia satu-satunya guru olahraga di sekolah yang masih muda, bahkan belum menikah. Badannya tinggi dan kulitnya putih, ia memiliki jambang tipis membingkai rahangnya yang tajam. Aku tidak tahu, kenapa dia tidak kerja jadi model saja?
"Maaf, Pak, saya terlambat," ucapku sambil berhenti tepat di depan Pak Mahbub, menunjukkan penyesalan. Semua mata sedang tertuju padaku. Aku bisa merasakannya menusuk punggungku. Tapi aku tidak peduli.
"Wah, Bella udah pemanasan duluan ya berarti? Iya, enggak apa-apa, Bella. Kami juga belum mulai," jelas Pak Mahbub ramah. Dia mengenalku, tentu saja, karena aku termasuk salah satu favoritnya berkat kemampuanku dalam berbagai cabang olahraga. Sementara favoritnya yang lain adalah Rosa untuk anak perempuan.
Aku menoleh ke belakang untuk mencari Rosa dan aku bisa menemukannya dengan mudah. Ia sedang asyik mengobrol dengan Ani seakan banyak sekali hal yang mereka bagi. Setidaknya, walaupun itu bukan aku, melihat ekspresi wajah Rosa yang normal membuatku refleks tersenyum lega. Semoga dia selalu bahagia.
"Hari ini main kasti ya. Bagi dua tim, anak perempuan dulu main tiga puluh menit lalu anak laki-laki empat puluh lima menit," jelas Pak Mahbub memberikan komando. Aku mengangguk siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Semicolon (Open Pre-Order)
Teen FictionLagi open PO sampai tanggal 19 September aja nih. Yuk peluk versi cetaknya https://shope.ee/6Kc3kHQaLm Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu a...