6. Km -0,1

173 34 12
                                    

Gosip Biyan pacaran dengan Vanya boleh saja menyurut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gosip Biyan pacaran dengan Vanya boleh saja menyurut. Namun karena selalu pulang-pergi bersama, perjodohan itu pun dimulai.

"Biasanya kalau deketan terus, lama-lama bisa suka, lho."

"Mulut bilang 'gak suka', tapi jantungnya dag dig dug."

"Cieee ... benci. Benci 'kan singkatan dari bener-bener cinta."

Segala usaha pun sudah Biyan lakukan demi menghindari 'perjodohan' itu, termasuk membujuk ayah agar tak usah mengantar-jemput Vanya lagi. Namun ayah hanya tertawa dan meledeknya.

"Kalau kenyataannya gak begitu, kenapa kamu mesti menghindar? Menghindar cuma menunjukkan kalau kamu lemah. Lihat tuh, Vanya. Dia tenang-tenang aja. Kamu jangan mau kalah, dong." Begitu respons ayah.

"Iya, Yan. Cuekin aja. Kalau kamu cuek, suatu saat mereka pasti bosan," tambah mama. "Tapi kalau kalian berjodoh, ya bagus juga, sih. Mama gak usah nyariin jodoh lagi buat kamu." Mama terkekeh.

"Hus! Mama ini. Biyan masih SD juga udah bahas jodoh." Ayah menepuk lengan mama.

"Ayah gak gaul, nih. Yang dijodohin sejak masih dalam kandungan juga ada lho, Yah." Mama tak mau kalah.

Dan begitulah, akhirnya orang tua Biyan berdebat sendiri tentang jodoh anak-anaknya dengan mengesampingkan perasaannya saat itu.

Ia pun mencoba menangkis 'perjodohan' itu dengan caranya sendiri. Begitu tiba di sekolah, ia buru-buru turun dari mobil dan segera menghilang sebelum ketahuan datang bersama Vanya. Saat menunggu dijemput pun, ia berusaha tak berdiri terlalu dekat dengan gadis itu.

Namun siang itu, Tuhan punya rencana lain saat Biyan mendapat SMS dari ayah.

Ayah:
Pak Abeng sakit.
Ayah juga gak
bisa jemput.
Kamu naik angkot
sama Vanya, ya.
Jangan ditinggal.

Biyan berdecak. Bila ayah atau Pak Abeng tak bisa menjemput, ia biasa membonceng ojek hingga depan rumah. Namun dengan adanya Vanya, ia terpaksa naik angkot. Dengan angkot ia hanya bisa berhenti di luar kompleks dan masih perlu berjalan kaki sejauh kira-kira 300 m. Panas-panas, lagi.

Dengan malas ia mendekati Vanya di halte bus tempat mereka menunggu jemputan itu. "Sopir kantor ayah sakit. Kita disuruh naik angkot," beri tahunya.

"Oke," sahut Vanya santai.

Lengan Biyan menjulur, memanggil angkot berwarna hijau itu agar menepi. Angkot itu terlihat kosong. Ia lega, tak perlu duduk berdekatan dengan Vanya.

Namun ia tak pernah menyangka, ia dan Vanya bukanlah satu-satunya penumpang. Dan begitu angkot itu berhenti, beberapa orang yang mulanya menunggu di halte itu juga berebut naik, hingga tempat yang tersisa hanyalah dua tempat yang bersisian di belakang.

Biyan mendului masuk dan memilih duduk dekat jendela. Dengan begitu, ia bisa mengarahkan tatapannya ke luar dan tak perlu berbincang dengan Vanya. Keduanya seperti tak saling kenal, meski duduk berdampingan.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang