26. Km 725

112 24 14
                                    

Perbatasan Kota Kabupaten Tuban sudah terlewat sejak beberapa menit yang lalu, tapi Biyan masih membiarkan gadis di sampingnya itu tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perbatasan Kota Kabupaten Tuban sudah terlewat sejak beberapa menit yang lalu, tapi Biyan masih membiarkan gadis di sampingnya itu tidur. Setelah menyetir selama dua setengah jam sejak berhenti di Gringsing, Vanya pasti sangat kelelahan. Guncangan sedahsyat apa pun tak mampu membuatnya terjaga. Kepalanya tetap terkulai di atas bantal penyangga leher. Lagi pula pusat kota, tempat mbah Biyan tinggal, masih berjarak beberapa puluh kilometer lagi.

Awalnya Biyan baru akan membangunkannya saat ia mampir di supermarket nanti. Namun beberapa kilometer sebelumnya, gadis itu sudah membuka mata, meregangkan otot-ototnya dan menguap tanpa sungkan.

"Sampai mana nih?" tanyanya.

"Tuban," sahut Biyan singkat.

"Udah sampai? Berapa lama lo nyetir?"

"Tiga jam lebih."

"Kok gue gak dibangunin?" Vanya memprotes.

"Tidur lo nyenyak banget. Gue takut dilempar ke luar kalau maksa bangunin lo." Biyan terkekeh.

Vanya mencebik. Namun suasana di jalan segera menarik perhatiannya. Ia lalu meraih ponsel dan mulai mencari objek yang menarik untuk diabadikan. Sejak berangkat dari Bandung tadi pagi, ia selalu memotret tempat-tempat yang mereka lewati dan singgahi. Ia ingin menyimpan kenangan-kenangannya dan juga perbedaan-perbedaan yang ia temukan di setiap kota.

Hal unik pertama yang ia temukan adalah becak bermusik. Becak di sana sama besarnya dengan becak yang ia temukan di Kota Semarang. Yang membedakan hanyalah, si pemilik becak di Tuban menghias becaknya dengan lampu LED warna-warni dan menaruh speaker di bawah jok. Dan musik yang terdengar kebanyakan berirama dangdut koplo yang disetel keras-keras.

"Becak di sini beda ya, Van?" Biyan berkomentar saat menyadari keheranan Vanya.

"He eh."

"Kalau di sini justru angkotnya yang gak pasang musik, gak seperti di Bandung."

Meskipun sudah memasuki kota, jalanan yang mereka lewati tetap lengang. Kendaraan yang melintas sebagian besar adalah kendaraan roda dua dan tiga. Sementara kendaraan roda empat hanya terlihat sesekali.

Mobil Biyan melambat saat mendekati sebuah supermarket di perempatan jalan. "Ini supermarket paling besar yang ada di sini," paparnya. "Jadi jangan harap ketemu mal."

"Kita mau ngapain di sini?" Vanya bertanya.

"Beli bekal. Besok kita berangkat pagi. Toko-toko belum ada yang buka."

Supermarket terbesar di Tuban itu sebenarnya tak lebih besar dari supermarket tempat Vanya dan Nuri belanja kebutuhan sehari-hari di Bandung. Namun setidaknya barang-barang yang dijual cukup memenuhi kebutuhan warga setempat. Lahan parkirnya pun cukup luas karena selain ditempati kendaraan pengunjung, penjaja makanan juga membuka kiosnya di sana.

Saat memasuki toko serba ada itu, waktu sudah menunjuk pukul lima lewat, meskipun langit masih tampak terang. Keduanya tak ingin berlama-lama di sana, karena biasanya Biyan dan kerabatnya menjalankan salat magrib bersama-sama di musala dekat rumah. Mereka hanya mengambil seperlunya lalu mengantre di kasir.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang