28. Km 725,62

104 23 9
                                    

"Assalamualaikum," sapa mbah kakung kala melintasi gerbang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Assalamualaikum," sapa mbah kakung kala melintasi gerbang. Kedatangannya diikuti paklik, Danar, lalu Biyan. Keempatnya bersarung dan berpeci.

Vanya bangkit dan membalas. "Waalaikumsalam."

"Di dalam kepanasan ya, Mbak?" Mbah berbasa-basi.

"Iya, Mbah," aku Vanya jujur.

"Masuk dulu ya, Mbak," pamit paklik.

"Ya, Paklik."

Di belakang paklik, Danar hanya menyapa dengan "Hai, Mbak."

Namun ketika Biyan juga berpamitan ke dalam, Vanya buru-buru menangkap lengannya.

"Apa, sih? Gue mau ganti sarung dulu, nih," protes pemuda itu.

"Itu siapa, sih?" Tanpa memedulikan protes sahabatnya, Vanya mengedikkan dagu ke arah rumah seberang, di mana mbah itu masih saja duduk sambil menyugar rambutnya.

Biyan membiarkan netranya mengikuti arah yang ditunjuk Vanya sebelum menjawab. "Oh. Mbah Ponco. Kenapa emangnya?"

"Dia senyum-senyum terus sama gue. Waktu gue balas, malah ketawa-ketawa." Vanya mengadu.

Biyan terkekeh. "Bulik juga pernah disenyumin terus. Terus bulik tanya, 'Senyum sama siapa, Mbah?' Dia bilang, senyum sama Mas Ponco, suaminya."

"Emang suaminya di mana?"

"Udah lama meninggal, sebelum kita lahir. Tiap duduk di situ dia seperti ngelihat almarhum suaminya. Kalau lo yang disenyumin berarti .... Aww!"

Jeritan Biyan bersumber dari cubitan Vanya di lengannya. "Jangan nakutin gue, lo."

"Lo takut? Masa sama preman berani, sama .... Aww!"

Vanya mendelik.

"Lagian siapa suruh magrib-magrib duduk di luar?" Biyan mencibir.

"'Kan di dalam panas," dalih Vanya.

Biyan mencebik. "Dah, ayo masuk. Sebentar lagi makan."

Mbah kakung, paklik, Danar, dan Btari duduk di karpet di depan TV ketika Vanya dan Biyan memasuki rumah. Stasiun TV yang mereka setel, sebentar lagi akan menyiarkan pertandingan sepak bola.

"Udah mulai, Lik?" tanya Biyan tanpa menghentikan langkahnya.

"Sebentar lagi," jawab paklik.

Sepak bola bukanlah olahraga favorit Vanya. Ia pun memutuskan untuk membantu menyiapkan makan malam. Selagi Biyan masuk dalam kamar untuk mengganti sarung, ia meneruskan langkah ke dapur, bergabung bersama mbah putri dan bulik.

"Mbah, sini saya bantu." Vanya mendekati wanita renta itu.

"Ya. Mreneo¹. Tolong piring-piring dan sendok itu dibawa ke dalam," pinta mbah sembari menunjuk tumpukan piring dan tempat sendok di meja. "Tapi gak usah ditata. Mereka makan di depan TV."

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang