14. Km 0,006

149 30 13
                                    

Tak biasanya Vanya bangun sebelum azan subuh berkumandang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak biasanya Vanya bangun sebelum azan subuh berkumandang. Batin yang terus berdebat membuatnya mudah terjaga. Bertemu Karan tapi menginap di tempat beraroma daging dan sampah busuk atau tidak pergi ke Bali sama sekali?

Atau mungkin benar yang Gwen katakan, Sang Pemilik jagat beserta makhluk-makhluknya tak menginginkan ia bertemu Karan.

Gak mungkin. Pasti ada jalan.

Jam di ponselnya masih menunjukkan angka 04.25 dan hari ini adalah hari libur Gwen. Gadis itu pasti masih meringkuk di bawah selimut. Namun Vanya tak bisa menunggu. Dengan fitur video call, ia menghubungi sahabatnya.

Cukup lama Gwen tak menjawab panggilannya sebelum akhirnya di layar ponsel Vanya muncul seorang gadis berbaring menyamping dengan mata terpejam. "Ngapain sih, Van, pagi-pagi gini?" sambutnya dengan suara mengantuk.

"Gue udah dapat cara pergi ke Bali, Gwen," sahut Vanya.

"Astaga. Cuma mau ngomong itu? Telepon gue lagi agak siangan, ya."

"Gweeennn! Jangan ditutup dulu!" Vanya setengah menjerit.

"Apa, sih? Emangnya sepenting itu, ya?"

"Gue mau minta pendapat lo."

"Hmm." Gwen hanya mendengung.

"Gue bakal pergi sama Biyan."

"Oke."

"Tapi dia kasih syarat. Salah satunya, gue harus nginep di rumah mbahnya."

"Terus kenapa?"

"Sebenernya gue gak masalah karena bisa hemat ongkos juga. Tapi rumahnya itu lho, deket pasar. 'Kan bau."

Gwen menggeliat, mengubah posisi berbaringnya menjadi telentang. Matanya bekerjap, berusaha beradaptasi dengan perubahan cahaya. Lalu dengan kelopak yang sedikit tersingkap, ia berkata, "Kadang gue heran sama lo, Van. Tingkah lo kayak cowok, gak bisa diem, tapi lo gak suka hal-hal yang menjijikkan."

"Eh, Gwen, cowok juga banyak yang gak suka hal-hal menjijikkan, kali." Vanya membela diri.

Gwen bangkit. Dari arahnya, Vanya tahu, gadis itu hendak mengambil air dari dispenser. Ia mendesah. "Sekarang tujuan lo apa, Van? Mau ketemu Karan or you just wanna have a luxurious getaway?"

"Mau ketemu Karan, sih," ujar Vanya pelan.

Lawan bicara Vanya itu tak langsung menyahut. Diteguknya dulu air setengah gelas itu. "Trust me, Van. Gak ada hasil yang lebih baik kalau lo gak ngelewatin rintangan yang berat. Jadi menurut gue, just accept it."

Gwen melangkah lagi. Kali ini ke kamar mandi. Meski hanya bisa melihatnya sebatas leher, Vanya tahu yang akan dilakukannya saat gadis itu mulai menunduk dan duduk di kloset. Dan ia sudah terbiasa.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang