10. Km 0,35

175 30 22
                                    

Kota Bandung banyak berubah sejak terakhir kali Biyan kemari sembilan tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kota Bandung banyak berubah sejak terakhir kali Biyan kemari sembilan tahun lalu. Namun rumah ini--yang hanya sempat ditinggalinya selama dua tahun sebelum ia berangkat ke Malaysia--tidak. Restu, adik mama Biyan, yang menempatinya, menjaganya dan merawatnya dengan bantuan si bibi.

Hanya saja menghabiskan belasan tahun di luar negeri, menjadikan rumah ini terasa asing bagi Biyan. Melihat kamar tidurnya sendiri pun ia pangling, meskipun tak ada yang berubah. Si bibi kelihatannya selalu membersihkannya, karena ia tak menemukan debu setitik pun, sama seperti saat ia meninggalkannya dulu.

Setelah menepikan koper dan gitar akustiknya dekat dinding, Biyan menjatuhkan diri di atas kasur, telentang menghadap langit-langit. Kelegaannya mengembus dari celah bibir. Rasanya begitu cepat. Sepertinya baru kemarin ia tiba di Kuala Lumpur, beradaptasi dengan lingkungan baru, bersekolah, kuliah, berteman dengan orang-orang dari berbagai bangsa dan kultur lalu .... Ting! Semuanya seolah hilang dengan jentikan jari dan ia harus kembali pada rutinitasnya dulu. Penerbangan yang hanya menghabiskan waktu selama dua jam juga turut membantu album kenangannya di negara tetangga tertutup dalam sekejap.

Biyan bangkit lagi dan mendekati kopernya. Setelah memutar tiga kombinasi angka, koper itu terbuka, menunjukkan tumpukan pakaiannya. Di tumpukan paling atas, sengaja ia letakkan tas kertas berisi oleh-oleh untuk Vanya dan Nuri. Entah bagaimana reaksi Vanya nanti bila melihatnya tiba-tiba berada di depan pintu. Senang? Kecewa? Marah? Atau bahkan tak peduli karena sekarang ada Karan yang berada di tempat yang ia inginkan?

Apa pun reaksinya, Biyan akan tetap mengunjunginya. Selama ini Vanya hanya menganggapnya sahabat dan tak pernah tahu perasaannya. Tiba-tiba menghilang, mungkin akan membuatnya semakin kecewa.

Pemuda itu keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Mama tampak masih asyik bercerita pada Restu di sofa ruang tamu. Pakaiannya juga belum berganti. Sedangkan oleh-oleh yang dibawa mama berjajar di meja.

"Pergi dulu, Ma." Biyan menyela obrolan mereka.

"Mau ke mana, Yan?" tanya Widya.

"Ke rumah Vanya. Mau ngasih oleh-oleh." Biyan menunjukkan tas kertas yang dibawanya.

"Gak bisa nahan kangen ya, Yan?" ledek Restu.

"Istirahat dulu aja, Yan. Vanya pasti ngerti," suruh mama.

Biyan urung melanjutkan langkah, tapi ia menimbang-nimbang permintaan mama. Setelahnya ia mengangguk.

"Oh ya, Yan. Sebelum lupa, nanti pulangnya Mama titip es campur yang di Bungsu itu ya, kalau masih ada. Deket 'kan, dari rumah Vanya?"

"Sip." Biyan mengatupkan telunjuk dan jempolnya, membentuk huruf O.

*

Semalam Vanya pulang dari kosan Gwen tanpa hasil. Sampai sekarang ia belum menemukan transportasi yang cocok untuk ia tumpangi ke Bali. Tarif pesawat yang ditawarkan oleh aplikasi pemesanan tiket transportasi dan akomodasi itu tak cocok dengan budget-nya. Sementara ia menolak naik kereta karena malas naik-turun kendaraan. Menyopir sendiri tampaknya juga tak mungkin. Gwen pun meledek, "Kayaknya semesta juga gak ngerestuin lo ketemu Karan, Van."

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang