12. Km 3,3

138 31 8
                                    

Vanya pun mengakui, tak ada yang berubah dari rumah Biyan sejak terakhir kali mengunjunginya belasan tahun lalu, saat perpisahan pertama mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vanya pun mengakui, tak ada yang berubah dari rumah Biyan sejak terakhir kali mengunjunginya belasan tahun lalu, saat perpisahan pertama mereka. Yang berubah hanyalah, absennya VW Combi itu dari halaman rumah dan diganti dengan SUV hitam yang lebih macho.

Bersisian, Biyan dan gadis itu melintasi halaman dan memasuki rumah melalui pintu utama. Mereka langsung menemukan Widya duduk di ruang tamu begitu Biyan membuka pintu. Wanita itu tengah menggulir layar ponselnya hingga tak menyadari kedatangan si putra sulung.

“Pasti lagi 'shopping',” gumam Biyan yang ditanggapi kekehan Vanya.

“Ma,” panggil Biyan. Dan sudah ia duga, Widya tak mendengar.

“Duduk dulu, Van.” Biyan menunjuk sofa terdekat, menyuruh tamunya duduk. Ia lalu menghempaskan diri di samping mama.

“Ma,” ulangnya.

Tanpa mengangkat kepala dari layar ponsel, Widya berdecak. “Apa sih, Yan? Kamu bawa titipan Mama, gak?”

“Telat, Ma. Keburu diborong orang,” canda Biyan.

Widya berdecak lagi. “Ya udah. Lain kali aja.” Maniknya pun belum beralih dari lapak-lapak penjual pakaian di marketplace bernuansa oranye itu.

“Tapi orangnya, Biyan bawa ke sini,” lanjut pemuda itu.

Dan ucapan sang putra akhirnya merebut atensi Widya. “Maksud kamu apa?”

“Tuh.” Dagu Biyan berkedik ke arah Vanya.

Tatapan Widya mengikuti arah yang ditunjuk putranya dan menemukan seorang gadis berambut pendek dan berpenampilan tomboy duduk di seberang mereka.

Kernyitan di pangkal hidung Widya mengurai saat ia mengenali tamunya. “Vanya?”

Vanya tersenyum lebar. “Iya, Tante.”

“Ya ampun!” Widya meninggalkan kursinya, juga ponselnya, untuk mendekati gadis itu.

Vanya ikut berdiri dari sofa dan menerima sambutan mama Biyan yang menghujaninya dengan kecupan di pipi kiri, kanan serta kening.

“Kamu apa kabar? Makin cantik aja.”

“Mamanya sampai tekor tuh, Ma, dagangannya dipake dia,” cetus Biyan yang segera dihadiahi delikan mata oleh mama.

Widya lalu menggiring Vanya kembali ke tempat duduk.

“Tante apa kabar?” balas Vanya.

“Baik. Alhamdulillah.”

“Di sana panas ‘kan, Tante? Kok bisa makin glowing, sih? Gak kayak Biyan. Udah item, kurus lagi.” Vanya terkekeh sambil melirik sahabatnya.

“Hei!” protes Biyan. “Awas lo, ya.”

Widya tertawa kecil. “Dia sih gak doyan makan. Kesukaannya soto ayam yang ayamnya disuwir. Tapi bibi di sana malas nyuwir ayam. Jadinya dia gak mau makan soto.” Ia berkisah.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang