Senyum Karan merekah saat pagi itu Whatsapp-nya dimasuki kiriman chat dari Vanya.
Vanya:
Gue udah di
kampus. Mana
kejutannya?Alih-alih membalas pesan itu melalui jalur pribadi, ia malah mengirim chat melalui grup Whatsapp, meminta para pengurus dan semua anggota berkumpul di ruang latihan--meskipun sore itu tak ada jadwal latihan maupun rapat. Hari itu ia mendadak jadi sangat misterius. Ia tak memberikan alasan apa pun. Dan tak satu pun pertanyaan yang dijawabnya. Saat di ruang latihan pun, ia tak langsung membuka mulut. Tidak, sebelum Vanya hadir.
"Sorry, telat," ucap gadis itu begitu muncul di ambang pintu bersama Gwen. "Belum bisa jalan cepet," dalihnya.
"It's okay," sahut Karan dingin. Ia lalu berpaling pada Naomi. "Ambilin kursi buat dia," suruhnya.
Sesaat Naomi bergeming. Ada rasa heran sekaligus tak percaya ia diperintah seperti itu oleh Karan. Apalagi isi perintahnya untuk melayani 'musuhnya'.
"Biar gue aja, Ran," sela Axel sambil bergerak ke arah sudut, di mana kursi-kursi itu berjajar.
"Gue nyuruh dia, bukan lo!" Karan menyentak dengan telunjuk terarah pada Naomi.
Tak hanya Naomi dan Axel, semua penghuni ruangan itu, termasuk Vanya serta Gwen, terhenyak. Ruangan yang semula sarat dengan suara berbisik tiba-tiba saja senyap. Mereka seperti baru ditunjukkan sisi lain Karan. Kecuali mereka memang sedang menonton pertunjukan drama.
"Cepet ambilin. Kaki dia sakit, gak bisa duduk di lantai," suruh pemuda itu lagi pada Naomi.
"Yang sakit 'kan kakinya, bukan tangannya. Masa gak bisa ambil sendiri?" elak sang sekretaris.
"GUE BILANG AMBILIN!" hardik Karan keras. Wajahnya tampak merah. Kata 'gue' dan absennya kata 'tolong' dalam perintahnya menandakan ia benar-benar berang.
"Ran." Fritz menyentuh bahu temannya untuk menenangkan, tapi Karan malah mengedikkan bahu hingga tangan Fritz terlepas.
Dengan langkah dientak, Naomi bergerak mengambil kursi, mengangkatnya ke arah Vanya dan meletakkannya di samping gadis itu dengan kasar.
"Duduk, Van," suruh Karan dengan intonasi lebih lembut. Sikapnya sudah kembali tenang. Bila saat itu mereka sedang di atas panggung, ia harus diakui sebagai aktor andal, perangainya bisa berubah hanya dalam waktu singkat.
Lalu di depan para anggotanya, ia mulai bicara. "Saya minta kalian ke sini sore ini bukan untuk latihan atau rapat. Saya cuma pengin menyampaikan sesuatu. Tapi sebelumnya, saya pengin beberapa dari kalian membuat pengakuan."
Dengung bisik-bisik kembali terdengar. Para mahasiswa yang duduk di lantai saling berbalas tatapan penuh tanya, tak memahami permintaan sang ketua.
"Saya akan mulai dari Naomi." Karan kembali mengarahkan tatapannya pada gadis itu. Namun kali ini tak ada sorot marah di kedua netranya, melainkan sorot tenang tapi menusuk. "Silakan duluan," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔The Road to Mantan
ChickLit[ChickLit/Slice of life] Kalau ada seseorang yang bisa bikin Vanya gagal move on, itu adalah Karan, mantan terindahnya di masa kuliah. Usaha apa pun ia tempuh demi bisa bersama laki-laki itu lagi, termasuk jadi stalker media sosialnya dengan akun pa...