Biyan segera keluar dari kamar begitu penampilannya sudah rapi. Namun sebelum beranjak ke restoran, ia berhenti di depan kamar Vanya. Gadis itu boleh saja ngambek, tapi harus tetap makan.
Ting tong.
"Van, udah bangun? Sarapan, yuk," ajaknya.
Tak ada sahutan.
Biyan mengembuskan napas keras. Kalau bukan karena perutnya yang sudah protes, mungkin ia akan terus memencet bel hingga gadis itu membuka pintu.
Lelaki itu menyerah. Dilanjutkannya langkahnya menuju restoran hotel. Kepada seorang petugas yang berjaga di pintu masuk, ia menyebutkan nomor kamarnya.
"Bli, tolong kirim sarapan untuk kamar 204, ya," pintanya.
Pemuda berseragam kemeja batik itu memeriksa catatannya. "Kamar 204 udah makan di tempat, Pak," ujarnya.
Biyan mengerutkan pangkal hidungnya. Ada rasa bingung tapi juga senang, akhirnya mood Vanya membaik.
Namun baru saja tubuhnya berbalik, lambaian tangan seorang gadis yang duduk di dekat pagar merebut perhatiannya. Senyum Bian terentang. Vanya--yang sosoknya tenggelam di antara kepala-kepala berambut hitam, cokelat, pirang, dan putih--tampak semringah menyambutnya. Sikapnya pun menunjukkan seolah-olah peristiwa kemarin tak pernah terjadi.
Lelaki itu bergegas mengambil makanan dari meja prasmanan. Dari sekian menu yang tersedia di sana, pilihannya jatuh pada nasi goreng, supaya cepat. Lalu ditempatinya kursi kosong di hadapan Vanya. "Hai. Udah lama?" sapanya.
"Belum. Baru dapet tiga suap," jawab Vanya seraya menunjukkan piring nasi gorengnya. Ia tak lagi canggung. Netranya pun sudah tak lagi menghindari tatapan Biyan.
"Nasi goreng juga?"
"He eh. Biar gampang. Yang lain ribet. Harus pake toaster lah, oles-oles lah, pake susu lah. Ini 'kan tinggal makan." Vanya meringis.
"Kok lo sarapan gak ngajak-ngajak gue, sih?" Biyan memprotes.
"Gue ngetuk connecting door. Tapi lo gak jawab."
"Oh. Gue masih di kamar mandi kayaknya."
Sementara Biyan mulai dengan suapan pertama, Vanya meneruskan makannya.
"Tidur nyenyak semalam?" Vanya melanjutkan berbasa-basi setelah mulutnya kosong.
Biyan mengangguk-angguk dengan mulut terisi. "Van, soal kemarin ...."
Seketika Vanya mengangkat tangan setinggi telinga, mengisyaratkan Biyan untuk tak melanjutkan ucapannya. "Sebelum lo salah paham, biar gue yang ngomong.
"Kemarin gue syok, tapi gak marah. Dan gue bukannya menghindar. Gue cuma perlu waktu sendiri untuk menenangkan diri.
"Jadi, jangan salah paham, ya. Gue yang seharusnya minta maaf, bukan lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔The Road to Mantan
ChickLit[ChickLit/Slice of life] Kalau ada seseorang yang bisa bikin Vanya gagal move on, itu adalah Karan, mantan terindahnya di masa kuliah. Usaha apa pun ia tempuh demi bisa bersama laki-laki itu lagi, termasuk jadi stalker media sosialnya dengan akun pa...