Vanya meletakkan selembar amplop putih di meja Gwen seusai mata kuliah terakhir siang itu.
“Apa nih?” tanya Gwen.
“Surat pengunduran diri gue dari drama. Tolong kasihin Karan dan tunggu sampai dia kasih jawaban,” sahut Vanya.
“Jadi lo serius?” Manik Gwen membulat.
“Ya iya lah.” Vanya bangkit dan memanggul tasnya di satu pundak. Ia mendului sahabatnya keluar kelas.
Gwen tergesa menyusul, berusaha menjajari langkah sahabatnya. “Gak sayang, Van? Lo mau biarin Naomi menang gitu aja?”
“Ini bukan soal menang atau kalah, Gwen. Tapi gue udah mutusin untuk hidup sesuai passion. Tanpa drama.”
“Tapi gak perlu sampai menghindari Karan ‘kan?”
“Dekat sama dia bikin gue sakit hati, Gwen. Perasaan gue terlalu tulus dan gue gak layak dimanfaatin.”
“Meskipun niatnya untuk ngelindungin lo?”
Vanya mendengus. “Gue gak selemah itu, kali. Lagian dia ‘kan bisa pakai cara lain, gak usah pura-pura pacaran. Gimana coba perasaan lo, di depan orang lain pura-pura happy, tapi lo gak bisa milikin hati dia seutuhnya? Kayak artis aja, pacaran setting-an,” gumamnya kemudian dengan nada sebal.
Gwen terkekeh. Lalu dilingkarkannya lengannya di leher Vanya. “Gue gak nyangka deh, Van. Casing lo kayak cowok, tapi perasaan lo peka banget,” ujarnya.
“Apaan sih lo?” Vanya menyikut Gwen agar gadis itu menjauh. “Dah, sana buruan kasihin suratnya. Keburu latihannya dimulai. Gue tunggu di kantin, ya.”
“Oke,” sahut Gwen seraya mempercepat langkah.
Saat ia tiba di sana, latihan belum dimulai. Namun semua pemain sudah berkumpul. Mereka duduk berkeliling di lantai. Sementara Karan dan Fritz memisahkan diri dari mereka dan mengobrol sambil duduk di meja di depan ruangan. Kedatangannya menghentikan obrolan mereka sejenak untuk mencari tahu siapa yang datang dan apa keperluannya.
“Kak Karan.” Gwen mendekati sang ketua ekskul. “Ada surat dari Vanya.” Diulurkannya amplop itu padanya.
Raut Karan seketika berubah. Ia sudah bisa menebak isi surat itu. Namun dibukanya juga amplop itu dengan tergesa dan dibacanya isi suratnya sepintas. Ia berdecak setelahnya.
“Kalau gitu, saya permisi, Kak,” pamit Gwen.
“Gwen,” panggil Karan sebelum gadis itu sempat bergerak. “Mulai hari ini lo gantiin Vanya,” ujarnya seraya menyodorkan sejilid naskah padanya.
Netra Gwen membeliak. “Serius, Kak?”
“Hmm.”
Gwen sendiri tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat itu. Menjadi pemain drama memang menjadi cita-citanya saat memilih ekskul itu. Namun semendadak ini? Ia bahkan tak punya persiapan dan tak sempat memberi tahu Vanya karena latihan langsung dimulai begitu ia menerima naskah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔The Road to Mantan
ChickLit[ChickLit/Slice of life] Kalau ada seseorang yang bisa bikin Vanya gagal move on, itu adalah Karan, mantan terindahnya di masa kuliah. Usaha apa pun ia tempuh demi bisa bersama laki-laki itu lagi, termasuk jadi stalker media sosialnya dengan akun pa...