29. Km 725,61

106 25 13
                                    

Bulik melarang Vanya ikut mencuci piring setelah makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulik melarang Vanya ikut mencuci piring setelah makan. Wanita itu malah menyuruhnya istirahat karena besok ia masih melanjutkan perjalanan panjang.

Namun Vanya malah menjadi clueless apa yang harus ia lakukan karena setelah makan tadi, Biyan juga kembali menonton pertandingan. Akhirnya ia menyelinap ke teras.

Berbeda dengan saat magrib yang sepi tadi, kini Vanya mendengar suara dua orang berbincang di teras rumah sebelah. Kelihatannya mereka tak ikut menikmati pertandingan seperti Biyan dan kerabatnya, meskipun sayup-sayup Vanya masih mendengar suara pertandingan dari TV yang disetel keras-keras dari arah lain. Suara motor pun kadang ikut mencegah keheningan menyusup di lingkungan itu.

Tak seperti lingkungan rumahnya di Bandung yang sunyi, rumah mbah Biyan berada di lingkungan yang warganya masih saling peduli satu sama lain. Dua lelaki yang melintas bahkan berhenti sejenak di muka rumah sebelah untuk menyapa. Tampaknya mereka lebih memilih berinteraksi dengan manusia nyata daripada ponsel.

Suara derit pintu yang dibuka merebut perhatian Vanya. Biyan muncul dari baliknya dengan membawa setoples makanan kecil.

“Bolanya udah selesai?” tanya gadis itu.

“Belum.”

“Kok gak nonton?”

“Masa punya tamu ditinggal nonton?” Biyan menghempaskan diri di kursi yang jaraknya hanya dipisahkan sebuah meja bundar bertaplak kain batik. “Camilan nih,” tunjuknya pada setoples yang dibawanya. Isinya penganan menyerupai kue astor, tapi dengan gulungan lebih kecil dan berwarna gelap serta polos.

“Apa, nih?” Vanya membuka tutup setoples itu.

“Ampo. Camilan khas Tuban. Si mbah sendiri yang bikin.”

Nama penganan itu terasa asing di telinga Vanya. Namun ia mencicipinya juga. Rasanya yang aneh seketika membuat alisnya berkerut. “Bahannya apa, sih?”

“Tanah liat.”

Uhuk. Penganan di mulut Vanya turut tersembur.

“Gak ada makanan yang lebih manusiawi apa?” respons gadis itu spontan seraya melap mulutnya dengan punggung tangan.

“Ssst. Jangan keras-keras. Nanti mbah marah.” Biyan meletakkan telunjuknya di depan bibir.

Vanya menutup setoples itu. Namun Biyan membukanya lagi.

“Makanan ini ada sejarahnya. Waktu zaman Belanda dulu, mbah buyut ikut ngungsi. Cari makan juga susah. Makanya orang jadi kreatif bikin makanan dari bahan seadanya,” beber Biyan sambil merogoh isi setoples itu dan meraup beberapa batang ampo sekaligus.

“Tapi ‘kan kotor.”

“‘Kan bahannya udah dipilih yang bersih.” Sebatang ampo pun masuk dalam mulut Biyan. Berbeda dengan sang sahabat, ia tampak menikmati setiap gigitannya.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang